Minggu, Desember 16, 2007

Panduan Penyesatan MUI

Oleh DR. Rumadi (Peneliti pada The Wahid Institute)
Tulisan ini diambil dari www.wahidinstitute.org.

MAJELIS Ulama Indonesia (MUI) kembali mengeluarkan pernyataan yang bisa memancing kontroversi. Setelah mengeluarkan sejumlah fatwa untuk menyesatkan aliran keagamaan tertentu, kini MUI mengeluarkan panduan untuk mengenali ciri-ciri kelompok sesat. Jika fatwa ibarat orang memancing, panduan mengenali kelompok sesat ini seperti menebar jala. Jika memancing hanya dapat satu per satu ikan, jala memungkinkan untuk mendapat ikan jauh lebih banyak hanya dalam sekali lemparan.

Sepuluh ciri untuk mengidentifikasi aliran sesat ala MUI adalah: 1) mengingkari salah satu dari rukun iman yang enam; 2) meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan Alquran dan sunnah; 3) meyakini turunnya wahyu setelah al-Quran; 4) mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi al-Quran; 5) melakukan penafsiran al-Quran yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir; 6) mengingkari kedudukan hadis nabi sebagai sumber ajaran Islam; 7) menghina, melecehkan dan atau merendahkan para nabi dan rasul; 8) mengingkari Nabi Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir; 9) mengubah, menambah dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh syariah, seperti haji tidak ke baitullah, salat wajib tidak 5 waktu; 10) mengkafirkan sesama muslim tanpa dalil syar'i seperti mengkafirkan muslim hanya karena bukan kelompoknya (6/11/07).

Bagaimana menjelaskan ini semua? Harus dibedakan, panduan mengidentifikasi aliran sesat ini bukan fatwa keagamaan. Jika fatwa mempunyai dimensi hukum (fiqih) yang mempunyai ikatan religius-spiritual bagi orang atau kelompok yang mengikuti (mulzim binafsih) dan dirumuskan melalui kaidah-kaidah penetapan hukum Islam, panduan untuk mengidentifikasi aliran sesat tidak demikian. Panduan ini harus dilihat sebagai pendapat (opini) biasa yang tidak ada kaitan transedensinya. Sebagai sebuah pendapat tentu saja ia bisa diuji kebenarannya, dibantah, dan diperdebatkan.

Meski demikian, opini MUI ini mempunyai bobot yang berbeda dengan pendapat personal pada umumnya. Bukan saja karena MUI dianggap sebagai lembaga yang mempunyai “otoritas agama”, tapi masyarakat Indonesia juga belum bisa membedakan tentang status pendapat dan fatwa MUI. Akibatnya, apa saja yang dikeluarkan MUI dianggap sebagai fatwa agama yang harus diikuti. Karena itu, sebagai sebuah pendapat, panduan mengidentifikasi kelompok sesat harus dilihat sebagai opini biasa, boleh disepakati boleh tidak. Orang yang mengikuti pendapat MUI dan melakukan tindakan kekerasan, tetap harus dilihat sebagai tindakan kriminal.

Namun saya menyadari, fatwa MUI mempunyai posisi khusus bagi kelompok Islam tertentu. Karena itu, fatwa ini pasti akan diikuti kelompok itu dan menjadi energi untuk melakukan “operasi” kelompok sesat. Karena itu, jangan kaget kalau setelah keluar panduan ini akan semakin banyak terdengar penghakiman satu kelompok atas kelompok Islam lain yang dianggap menyimpang.

***

Dalam kaitan ini, ada beberapa hal yang layak dikomentari dari panduan identifikasi kelompok sesat yang dikeluarkan MUI. Pertama, secara substansial banyak hal yang layak dipersoalkan. Ada kriteria yang sifatnya sangat normatif seperti soal rukun iman dan rukun Islam, otentisitas al-Quran. Pada tingkat ini, meski dalam beberapa aspeknya bisa dipermasalahkan, tapi hal ini mencerminkan arus utama keyakinan teologis Islam.

Namun sejumlah kriteria yang lain sangat problemtis. Sebut saja misalnya “melakukan penafsiran al-Quran yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir”. Ketentuan ini tidak cukup jelas maksudnya, karena itu bisa menimbulkan berbagai berbagai penafsiran. Tentu saja saya tidak menuntut ketentuan ini diperjelas, karena secara metodologis dan substansial memang problematis. Penafsiran terhadap al-Quran dan kaidah-kaidah (metodologi)-nya terus mengalami perkembangan. Justru karena perkembangan inilah al-Quran bisa senantiasa sesuai dengan perkembangan zaman (shalihun li kulli zaman wa makan).

Kedua, akibat yang paling mungkin muncul dari panduan penyesatan MUI adalah munculnya “polisi swasta” dalam masyarakat yang akan dengan mudah mengklaim sesat terhadap kelompok lain. Hal demikian jelas sangat potensial untuk menciptakan keresahan baru dalam kehidupan masyarakat. Kata “sesat” juga akan menjadi alat komunikasi baru baru dalam masyarakat yang jelas sangat tidak mendidik, karena kata “sesat” sebenarnya merupakan alat komunikasi kekerasan.

Ketiga, pada tingkat tertentu panduan penyesatan MUI ini sangat potensial dijadikan sebagai alat untuk menteror aktifitas berpikir umat Islam, baik teror yang muncul dari luar maupun dari dalam. Teror dari luar akan muncul dari orang lain yang dengan panduan ini digunakan untuk mengawasi pikiran dan tindakan orang lain. Akibat teror dari luar ini akan menimbulkan ketakutan sehingga orang mengontrol dirinya sendiri. Jika teror ini masuk pada dunia akademik Islam, terutama Perguruan Tinggi, jelas sangat berbahaya, karena akan terjadi pembakuan dan pembekuan terhadap intelektualisme Islam.

***

Di luar itu semua, yang mengherankan justru sikap pemerintah. Dalam berbagai kasus tentang aliran-aliran keagamaan, ada kesan kuat bahwa pemerintah senantiasa berada dibawah kendali MUI. Mulai dari aparat penegak hukum sampai presiden selalu menjadikan pendapat MUI sebagai rujukan dalam mengambil sikap. Bahkan, setelah MUI mengeluarkan sepuluh panduan untuk mengeidentifikasi aliran sesat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengatakan akan memerangi aliran sesat. Bahkan, dalam sejarah Indonesia, SBY lah satu-satunya presiden yang membuat pernyataan demikian.

Sikap yang ditunjukkan SBY tentang aliran sempalan keagamaan jelas sangat paradoks dengan sikapnya terhadap diskriminasi Konghucu. Dalam perayaan Imlek awal Pebruari 2006, SBY membuat pernyataan yang terkesan sangat pluralis, terbuka, dan menunjukkan visi seorang negarawan. Ketika itu, Presiden SBY menyampaikan niatnya untuk mengakhiri istilah agama yang diakui atau tidak diakui negara.

“Prinsip yang dianut UUD adalah negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat sesuai dengan kepercayaannya itu. Negara tidak akan pernah mencampuri ajaran agama. Tugas negara adalah memberikan perlindungan, pelayanan, serta membantu pembangunan dan pemeliharaan sarana peribadatan serta mendorong pemeluk agama yang bersangkutan menjadi pemeluk agama yang baik,” kata Presiden disambut gemuruh tepuk umat Konghucu yang hadir dalam perayaan itu.

Pernyataan tersebut jelang menunjukkan sikap seorang negarawan dengan visi pluralisme yang jelas. Namun dalam kasus aliran sempalan, presiden justru menunjukkan sikap yang sebaliknya. Tidak ada lagi visi kenegarawanan yang harus melindungi warga negara. Presiden justru seperti aparatus MUI yang akan menjalankan agenda dan visi MUI tentang kehidupan beragama, bukan melaksanakan UU yang menjamin kebebasan beragama. Hal ini juga diperparah dengan kenyataan, aparat kepolisian nyaris tidak pernah menindak kelompok-kelompok masyarakat yang melakukan tindak kekerasan terhadap pengikut aliran tertentu yang dianggap sesat.

Jika kenyataan ini dibiarkan, maka pelan-pelan Indonesia akan berubah menjadi negara agama, dimana otoritas politik dikendalikan oleh otoritas agama. Sebuah keadaan yang sangat mengkhawatirkan.

Soal Aliran Sesat
Sepuluh panduan mengidentifikasi aliran sesat MUI tersebut tidak terlepas dari maraknya aliran-aliran keagamaan yang dipandang sesat. Bagaimana fenomena tersebut dijelaskan dan disikapi? Fenomena aliran-aliran keagamaan baru tidak bisa dilihat semata-mata sebagai fenomena keagamaan, tapi di dalamnya juga terkait dengan problem sosial, ekonomi, dan budaya. Kalau aliran-aliran baru semata dilihat sebagai fenomena agama maka jawaban yang muncul menjadi sangat simplistis, antara sesat dan tidak sesat, benar dan salah. Jawaban seperti ini memang tidak sepenuhnya keliru, namun harus disadari ini tidak bisa menyelesaikan akar masalah. Fatwa sesat yang dikeluarkan MUI misalnya, tak ubahnya seperti obat generik yang hanya bisa menghilangkan penyakit dalam sesaat. Karena itu, penjelasan sosial, ekonomi dan kebudayaan menjadi penting.

Dalam perspektif yang terkahir ini, aliran-aliran baru dapat dimaknai sebagai protes atas aliran-aliran lama yang dianggap jauh dari kepentingannya sebagai orang beragama. Dalam isu nabi baru misalnya, meskipun nabi-nabi baru mengaku mendapat “wahyu”, namun pada dasarnya hal tersebut menunjukkan adanya kritik atas fungsi agama yang dianggap tidak relevan dengan perkembangan zaman. Para nabi baru ini adalah orang-orang yang sedang mengupayakan “status sosial” baru melalui ruang psikologis masyarakat yang merindukan adanya mesiah sebagai juru selamat dalam situasi sosial yang semakin tidak menentu. Karena itu, para elit agama tidak perlu marah yang berlebihan, tapi justru melakukan instropeksi apakah agama cukup fungsional untuk menyelesaikan masalah riil kehidupan.

Terkait dengan itu, beberapa hal barangkali penting untuk dipikirkan. Pertama, para elit agama seharusnya memberi pendidikan keagamaan untuk mendorong kedewasaan dalam beragama. Kedewasaan dalam beragama antara lain bisa dilihat dari bagaimana cara merespon berbagai persoalan termasuk hal-hal yang dianggap melecehkan agamanya. Tindakan kekerasan terhadap orang yang dianggap melecehkan agama sebenarnya merupakan cermin kekurangdewasaan kita. Kedua, pera elit agama jangan mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang potensial dimanfaatkan kelompok masyarakat untuk melakukan kekerasan bermotif agama. Kalau toh ada kelompok-kelompok yang dikategorikan sebagai aliran sesat, biarlah hal itu diselesaikan melalui mekanisme hukum, bukan dengan aksi kekerasan.

Ketiga, aparatus negara seharusnya profesional dengan bertindak sebagai pelindung untuk menjamin hak-hak dasar warga negara. Karena itu, pelaku tindak kekerasan tidak ada alasan dibiarkan terus menerus. Aparat kemanan harus bertindak lebih tegas kepada kelompok-kelompok penyerang, tidak justru menindak korban. Fungsi aparat pemerintah untuk melindungi warga negara harus menjadi landasan kerja secara profesional. Aparat tidak boleh melakukan pembiaran terhadap aksi-aksi kekerasan yang dilakukan siapapun dan atas nama apapun.

Meski pengikut aliran-aliran baru kita anggap sesat, mereka tetap warga negara yang mempunyai hak-hak dasar yang harus dilindungi negara. Fatwa sesat MUI belum tentu sesat juga bagi pengadilan. Kesiapan menerima kemungkinan seperti ini juga menjadi bagian kedewasaan beragama.[]

Kamis, Desember 13, 2007

T A' W I L: Alternatif Metodologis Pembacaan Atas Teks (Nash)

PENDAHULUAN
Tanpa argumentasi-argumentasi teologis, siapapun harus mengakui bahwa Al-Quran telah membuktikan diri sebagai sesuatu yang mampu menciptakan peradaban dan tradisi menulis yang sangat tinggi. Dari Al-Quran, ribuan rak-rak perpustakaan dipenuhi tulisan-tulisan yang hanya sekedar mengupas seluk beluk Al-Quran. Karena Al-Quran pula, muncul berbagai "paham" yang mempunyai sudut pandang pola pemahaman tersendiri terhadap Al-Quran. Ada yang mengkotakkan diri dalam barisan "liberal," ada pula yang "tradisional," dan ada pula yang "moderat," dan lain sebagainya. Semuanya mempunyai argumentasi yang bisa didiskusikan kembali. Namun demikian, kesemuanya tidak terlepas dari aneka kritik.
Perkembangan "paham" liberal yang telah merambah ke berbagai lini termasuk ke dalam kancah pemikiran telah menelorkan produk pemikiran yang hanya mengedepankan substansi, yang kemudian dikenal dengan kelompok substansialis. Bagi pimpinan Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizik, yang demikian itu berarti melakukan filsafatisasi agama, dan menurutnya sangat berbahaya. Hal seperti ini tentu menjadi problem serius, yang harus segera dicari penyelesaiannya. Produk-produk pemikirannya menjadi tidak layak untuk dipegang sebagai acuan dalam berperilaku, apalagi dasar hukum. Begitulah kritik. Ini tentu berbeda dengan para cendekiawan masa klasik dan pertengahan, baik yang konservatif maupun kritis. Pendapat mereka hingga kini masih dipakai. Sebab, dari berbagai aspek termasuk metodologi telah memenuhi kriteria.
Saat ini, belum banyak pendapat "baru" yang muncul secara metodolgi lebih kokoh dibanding yang mereka pakai. Mungkin proses pen"takwil"an (diberi tanda kutip, karena belum tentu pendapat itu adalah takwil yang sebenarnya) dilakukan tanpa melalui rumusan-rumusan yang ideal atau ketentuan yang ada.
Teks hanya ditarik dari sisi nilai dan semangatnya saja, tidak jarang teks kemudian diabaikan. Ini tentu membahayakan bahkan bisa jadi teks menjadi sesuatu yang tidak "berharga," yang pada akhirnya hancur. Teks menjadi kehilangan identitas.
Untuk memahami teks, sebenarnya tidak hanya terbatas pada tafsir atau pun ta'wil. Namun, dalam bahasan ini tampaknya ta'wil, yang sering disebut juga dengan istilah interpretasi metaforis, yang menjadi "selebritis" pewacanaan.

PEMBAHASAN

Apa itu teks?
Sebelum masuk ke dalam bahasan selanjutnya, tampaknya istilah teks perlu dijelaskan. Istilah teks dalam bahasa Arab sering disebut dengan nash. Dalam konteks ilmu hadis yang disebut nash adalah hadis, sedangan dalam konteks fiqh dan ushul fiqh, kata nash sering merujuk ke Al-Quran. Seperti contoh, la ijtihada fi ma fihi al-nash. Kata nash merujuk pada makna semantik klasik.
Teks itu ada (muncul) merupakan sebuah fiksasi dari wacana lisan. Sementara wacana merupakan sebuah dinamisasi pergulatan ide-ide melalui dialog, pemikiran dan pertukaran pikiran. Dialog sendiri merupakan "perseteruan" pemikiran dan ide untuk mencari kebenaran. Dialog memperkaya hazanah dalam wacana itu sendiri. Tidak ada pendapat yang seragam, karena dialektika dialog telah melahirkan argumetasi yang kokoh dan diposisikan sama benarnya. Kalaupun salah, selama itu merupakan bagian upaya memahami ajaran agama, agama tetap memberikan penghargaan dengan memberikan kredit "satu." Sementara, jika benar diberi kredit point "dua."
Jadi, munculnya kebenaran itu sendiri melalui proses yang cukup rumit dan membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Maka dari itu, dialog yang kemudian di-teks-kan kadang kehilangan unsur aslinya, karena tanpa kehadiran pembicara dan narasumbernya. Sebuah teks muncul dari serentetan proses yang tidak pendek. Maka dari itu, untuk memahaminya proses itu layak dipertimbangkan. Itulah yang terjadi dengan kitab suci Al-Quran. Proses "perumusan" teks itupun membutuhkan waktu relatif lama. Teks Al-Quran baru tuntas diselesaikan selama 23 tahun, yang dibagi dalam dua masa yakni Makkah dan Madinah.
Kita bisa melihat kembali sejarah, bagaimana konsepsi akidah yang dirumuskan Al-Quran mendapat tantangan keras dari penduduk Makkah. Penolakan mereka harus dipahami tidak berasal dari kebodohan—sebagaimana sering dituduhkan dengan istilah kaum "jahiliyyah,"--atau dari suatu perlawanan sistematis terhadap fenomena kitab atas nama suatu doktrin yang bersaing. Sebaliknya, mereka malah berada di dalam problematika kitab Tuhan dan meminta bukti-bukti yang rasional, logis, dan argumentatif.
Dalam tulisan ini, teks memang akan dibatasi pada Al-Quran saja, sumber suci sebagai pijakan utama untuk melakukan loncatan pemaknaan atasnya. Meskipun Nashr Hamid Abu Zaid, mencoba memaknai teks (nash) lebih luas, karena sudah mencakup relasi sistematis antara teks dan kebudayaan yang mempengaruhi pembentukan teks itu sendiri.

Memahami Teks, Otoritas Siapa?
Doktrin klasik agama menyebutkan bahwa otoritas memahmi teks itu berada di tangan mufassir. Pada akhirnya, mufassir melakuka hegemoni penafsiran dengan perspektifnya. Padahal, tidak ada pelimpahan kewenangan, selain kepada orang yang mempunyai kompetensi atasnya. Dan yang mempunyai kompetensi itu tidak hanya mufassir, namun juga muawwil.
Jadi, untuk memahami teks ini tidak cukup hanya berada di tangan mufassir, namun harus lebih diperluas, misalkan muawwil. Menonjolkan peran mufassir dalam memahami teks, dan dalam menentukan makna dan signifikasni teks, mempunyai implikasi pemahaman yang sempit. Karena aktivitas interpretasi dan penafsiran hanya sekedar menarik teks ke horison pembaca dan penafsir. Ini menjadi persoalan. Karena eksistensi teks dihancurkan dan dikorbankan demi kepentingan efektifitas interpretasi.
Mengapa, otoritas memahami teks ini perlu dibebankan pula kepada para muawwil? Sekedar untuk diketahui, bahwa para ulama—sebagaimana dikutip oleh amin Al-Khufi—membagi khazanah intelektual Islam ke dalam tiga bagian; Pertama, ilmu yang matang dan final, yaitu ilmu nahwu dan ilmu ushul. Kedua, ilmu yang matang tapi belum final, yaitu iolmu fiqh dan ilmu hadis. Ketiga, ilmu yang belum matang dan belum final, yaitu ilmu bayan dan tafsir (Al-Quran).
Jadi berkaitan langsung dengan pemahaman Al-Quran, masuk dalam katagori yang belum matang dan final. Ini berarti membuka peluang pihak lain untuk mengadakan pembaruan pemahaman atas teks secara terus-menerus, baik menyangkut penafsiran ayat-ayat tertentu maupun perangkat metodologinya (ilmu tafsir/al-quran). Dan yang paling berkompeten di sini adalah muawwil.
Namun demikian, masih banyak hambatan. Karena langkah inovatif dalam pembaharuan ilmu-ilmu Al-Quran masih dihadapkan pada terjadinya perluasan wilayah yang "tak terjamah" serta "dilanggar oleh kalangan yang kritis ilmiah. Dan ironisnya, perluasan tersebut didukung oleh kalangan akademis dengan tetap membawa bendera "demi menyelamatkan agama."
Pengertian Ta'wil dan Tafsir
Kata ta'wil dalam Al-Quran disebut sebanyak 17 kali. Lain halnya dengan istilah tafsir yang hanya disebut satu kali. Ini menunjukkan bahwa ta'wil lebih populer dibanding kata tafsir. Barangkali, ta'wil ini lebih populer pada masa pra-Islam. Sebagaimana dalam Al-Quran, istilah untuk tafsir mimpi disebut dengan "ta'wil ahadits." Dalam konteks mimpi ini kata ta'wil berarti memberitahukan sesuatu sebelum terjadi secara faktual. Sedangkan ta'wil dalam konteks ta'wil Nabi Khidir atas perilaku penduduk berarti upaya mengungkapkan makna yang tersembuyi dari perbuatan-perbuatan tersebut. Di lihat dari peristilahan, kata dasar ta'wil adalah ala, yaulu, awl, yang berarti mengembalikan kepada asal usul.
Sedangkan kata tafsir bisa berasal dari kata fasar atau safr. Dalam Kamus Lisan Al-Arab kata tafsirah diartikan sebagai medium agi dokter sebagai alat analisis, sedangkan safr banyak makna darinya. Intinya adalah perpindahan dan perjalanan.
Dalam tafsir selalu membutuhkan medium yaitu yang diamati mufassir sehingga ia dapat mengungkapkan apa yang dikehendakinya, sementara pada ta'wil, proses yang terjadi tidak selalu membutuhkan medium, bahkan kadang ta'wil hanya didasarkan pada gerak mental intelektual dalam menemukan asal mula "gejala" atau dalam mengamati "akibatnya." Dengan kata lain dalam ta'wil dapat dijalankan atas dasar semacam hubungan langsung antara subjek dan objek. Sementara dalam tafsir hubungan itu harus melalui medium.
Ta'wil dalam istilah ushuliyyin sering didefinisikan dengan "mengeluarkan lafazh dari maknanya yang zhahir ke makna yang tidak zhahir." Sedangkan Muhammad Ali Al-Shabuny mendefinisikannya dengan "penjelasan para ulama dari ayat yang maknanya tersirat, serta rahasia-rahasia ke-Tuhanan yang begitu halus yang terkandung dalam Al-Quran. Hal itu dimaksudkan agar nash bisa menjalar kepada peristiwa-peristiwa yang tidak disebut oleh nash. Jadi ta'wil merupakan pemahaman atau pemberian pengertian atas fakta-fakta tekstual dari sumber suci sedemikian rupa, sehingga yang diperlihatkan bukanlah makna lahiriah kata-kata pada teks sumber suci itu, tapi pada makna dalam (bathin) yang dikandungnya.
Istilah ta'wil dalam kalangan pemikir agama "resmi" menjadi istilah yang menakutkan, demi istilah tafsir. Labelisasi sebagai kalangan ta'wily, kemudian dikelompokkan kepada orang yang "hatinya masih dalam kebimbangan, kemudian mereka mengikuti apa yang tidak jelas untuk mengikuti fitnah." Dalam politik, pewacanaan seperti itu pararel dengan ketakutan para penguasa terhadap kekuatan oposisi yang ingin menghidupkan kekacauan (fitnah). Padahal sebenarnya, Abu Zaid melihat bahwa ta'wil-ta'wil yang dilakukan kalangan mereka dikelompokkan ke dalam tafsir demi menyematkan "objektifitas" pada produk pemikirannya.
Ketakutan kalangan pemikir resmi ini identik dengan pola yang dilakukan oleh pemikir kalangan tradisional. Bagaimana mereka menempatkan ta'wilnya sebagai ta'wil yang benar, sementara produk ta'wil kalangan pendukung ta'wil disebut sebagai ta'wil yang "rusak" dan "cacat." Paling banter, penerimaan mereka terhadap takwil tersebut dengan menyebutnya sebagai "tafsir birra'yi." Meskipun demikian, para pemikir tradisional sebenarnya sudah mulai berani merambah ke dalam dimensi penggunaan nalar dalam memahami Al-Quran, meskipun terkesan malu-malu. Sebab, penggunaan nalar aktif ini memang tidak bisa dihindari ketika menemukan banyak ayat-ayat yang agak sulit terungkap.
Ketakutan menggunakan ta'wil tersebut tentu bisa dipahami. Sebab, sumbangsih ta'wil yang dipelopori secara nyata oleh aliran Mu'tazilah dalam menciptakan perpecahan dan perselisihan di kalangan kaum muslimin cukup besar.
Kemudian tafsir, harus selalu didasarkan pada naql, sebab jika melakukan penalaran (istidlal) selalu menyebabkan kekeliruan. Pandangan ini dipegang betul oleh kalangan Ahlusunnah. Maka dari itu mereka antipati terhadap kalangan ta'wily. Dan yang tercatat dalam kalangan tersebut adalah Mu'tazilah dan kelompok sufi. Mu'tazilah dianggap salah menta'wilkan Al-Quran dalam dalil dan madlul. Kesalahan mereka dalam memegangi makna-makna untuk mengartikan maksud Al-Quran. Sehingga kesalahan mereka berasal dari kekeliruan makna dan dalam mengartikan kata-kata Al-Quran dengan makna tersebut. Sementara kesalahan kelompok sufi berasal dari kata-kata Al-Quran yang diartikan dengan berbagai makna yang sebenarnya benar, namun kata-kata tersebut tidak mengacu kepada makna-makna tersebut.
Ketakutan akan ta'wil ini tidak bisa terlepas dari firman Allah Swt:
وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ (ال عمران\3: 7)
Artinya:
Dan tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. (QS Ali Imran [3]: 7)
Menurut teks di atas, bahwa Al-Quran adalah realitas objektif yang penakwilannya secara sempurna hanya dapat dilakukan oleh satu pihak saja, yakni Allah Swt. Dari sini pula dipahami bahwa Nabi Muhammad Saw pun tidak mengetahui takwil Al-Quran secara sempurna dan keseluruhan beserta segala detilnya. Karena, jika beliau mengetahui secara sempurna maka beliau menjadi sekutu Allah dalam hal kemutlakan pengetahuan. Adapun pengetahuan secara bertahap dan temporer, dapat dimiliki oleh orang-orang yang mendalam ilmunya (al-rasikhuna fi al-ilm) secara kolektif, bukan personal. Dari kaca mata ini, maka maksud dari rasikhun fi al-'ilmi adalah para tokoh besar di berbagai bidang; filsafat, ilmu pengetahuan alam, biogenesis, asal-usul alam semesta, astronomi, dan para sejarawan dalam kapasitas mereka sebagai barisan kolektif ilmu-ilmu objektif-empiris. Barisan ilmu ini tidak mengharuskan ilmuwan bidang fiqh untuk turut bergabung.

Bagaimana Menggunakan Ta'wil?
Ta'wil berkaitan dengan isntinbath, sementara tafsir umumnya didominasi dengan naql dan riwayat. Perbedaan ini mengandung satu dimensi penting dalam proses ta'wil, yaitu peran pembaca dalam menghadapai teks dan dalam menemukan maknanya. Peran mu'awwil di sini tidaklah mutlak, dalam pengertian harus ditundukkan secara subjektif. Ta'wil harus didasarkan pada pengetahuan mengenai beberapa ilmu yang berkaitan erat dengan teks, yang termasuk dalam konsep tafsir. Mu'awwil harus mengerti benar dengan perangkat tafsir sehingga dalam melakukan takwil bisa diterima teks.
Ta'wil yang tidak didasarkan pada tafsir adalah ta'wil yang ditolak dan dibenci. Sebab istinbath tidak didasarkan hanya pada estimasi, tidak pula didasarkan pada upaya menundukkan teks demi kepentingan dan ideologi mufassir betapapun baik niatnya. Istinbath harus didasarkan pada fakta-fakta teks pada satu sisi, data-data bahasa pada sisi lain. Baru setelah itu, tidak masalah bila berpindah dari "makna" ke "signifikansi.
Dalam persyaratan yang diberikan oleh Al-Syatibi, ta'wil baru bisa diterima jika memenuhi persyaratan sebagai berikut: pertama, makna yang dipilih sesuai dengan hekekat kebenaran yang diakui oleh mereka yang memiliki otoritas. Kedua, makna yang dipilih dikenal oleh bangsa Arab klasik. Sedangkan dari kalangan Al-Zhahiriyah dalam hal ini menentukan bahwa arti yang dipilih tersebut harus dikenal oleh bangsa Arab masa awal.
Sementara Shahrur, melengkapi rumusan prinsip ta'wil. Pertama, berpegang teguh pada bahasa Arab yang berlandaskan pada; (a) Bahasa Arab tidak mengandung sinonim, tapi yang lebih dari satu makna. (b) lafazh berfungsi sebagai sarana yang membantu untuk memperoleh makna. (c) pijakan kebahasan Bangsa Arab adalah makna, jika mereka membatasi makna, maka mereka empermudah dalam pengungkapannya. (d) teks kebahasaan apapun tidak dapat dipahami kecuali melalui medai yang dapat dipahami oleh akal dan relasional dengan realitas.
Kedua, pemahaman atas hubungan antara wujud objektif dalam konsep al-tanzil dan kesadarn manusia terhadap wujud tersebut yang berada dalam konsep al-inzal.
Ketiga, al-tartil. Yang dimaksud dengan tartil di sini adalah tematik. Karena dengan cara demikian akan menghasilkan pemahaman yang mendalam dan komprehensif. Penggalian secara tematis di zaman modern ini merupakan metode yang paling efektif untuk mencapai tujuan. Dalam bidang tafsir sendiri, ada istilah tafsir maudhu'i (tematis), yang disebut sebagai tafsir yang mampu mengupas maksud Allah dalam Al-Quran secara komprehensif.
Keempat, tidak terjebak dalam pemilahan yang tidak semestinya. Maksudnya adalah bahwa masing-masing ayat Al-Quran memuat sebuah pemikiran yang utuh. Tiap ayat adalah satuan tema sempurna yang saling melengkapi. Maka dari itu, setelah melakukan tartil, pemahaman tema akan menjadi sempurna.
Kelima, memahami rahasia lokasi-lokasi pemisah antar ayat (mawaqi al-nujum). Al-Quran adalah ayat-ayat yang menjelaskan hukum pada peristiwa-peristiwa objektif. Satu tema terletak dalam berbagai ayat. Dalam satu surat, kadang lebih dari lima tema. Maka, seorang mu'awwil harus paham posisi pemisah tersebut.
Keenam, perujukan silang terhadap berbagai informasi yang didapatkan. Prinsip ini perlu dilakuka sebagai sarana menghindari pertentangan antara seluruh ayat-ayat Al-Kitab, baik pada sisi ayat-ayat pengajaran maupun ayat-ayat penetapan hukum.
Dengan langkah-langkah dan prinsip tersebut, diharapkan produk takwil benar-benar sejalan dengan maksud Allah Swt dan membumi tanpa mengesampingkan kebijakan lokal (local wisdom).
***
Perjalanan ta'wil selama ini memang mandeg bersamaan dengan mandegnya ijtihad. Tapi, keadaan dan kebutuhan umat menuntut ta'wil untuk dilirik kembali sebagai metodologi alternatif dalam melakukan pembacaan atas teks suci. Dengan ta'wil, seorang mufassir bisa menyeberangi pemahaman teks, dari pemahaman atas "kulit"-nya, menuju kepada "inti"-nya. Karena dengan ta'wil pula, simbol-simbol yang tertuang dalam kitab suci bisa terungkap dan dipahami. Penggunaan ta'wil akan dapat membantu teks-teks suci lebih membumi.
Menarik perumpamaan Nashr Hamid Abu Zaid terhadap Al-Quran: "
Al-Quran adalah laut, pantainya adalah ilmu-ilmu kulit dan cangkang, dan kedalamannya adalah lapisan tertinggi dari ilmu-ilmu inti. Di pantai hanya diserupakan cangkang kosong dan pasir. Sementara lautan diselamai, semakin banyak permata dan mutiara yang dapat diperoleh. Semakin dalam gelombang lautan diselami, semakin banyak permata dan mutiara yang dapat diperoleh.
Akankah kita hanya mendapatkan cangkang kosong dan pasirnya saja? Jika kita ingin mendapatkan mutiara dan permata, kita harus berani menggunakan ta'wil.

PENUTUP
Sebuah kitab suci, apapun namanya, akan menjadi bermakna hanya ketika diposisikan secara relasional dengan masyarakat pembacanya yang mengimaninya sebagai sabda Tuhan. Pengamalan teks-teks suci yang disertai dengan pemahaman relasional akan lebih maksimal tinimbang pembacaan yang terbatas di mulut saja.
Hanya ini yang bisa ditulis dalam makalah ini, dan memang belum tuntas karena space yang disediakan terbatas. Hal-hal lain, mari kita gali lebih dalam dalam literatur-literatur yang tersedia.
Walllahu a'lamu bishawab

* Dimuat dalam Jurnal Mazahib, STAIN Samarinda, Vol. II No. 2 Desember 2005
DAFTAR PUSTAKA


Abu Zahrah, Muhammad, Ushul Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999, Cet. Ke-5
Al-Ghazâli, Abû Hâmid Muhammad ibn Muhammad, Al-Mustashfa min ‘ilmi Al-Ushûl, Beirut: Dâr Al-Fikr, tth, Juz. 1
Al-Khan, Mushthafa Sa’id, Dr., Atsar Al-Ikhtilaf fi Al-Qawaid Al-Ushuliyah fi Ikhtilafi Al-Fuqaha, Beirut: Muassasah Al-Risalah, 1985, Cet. Ke-4.
Al-Maliki, Ibnu Al-Hajib, Al-Imam, Hasyiah Al-Alamah Al-Taftazan wa Hasyiah Al-Syarif Al-Jurjani Ala Mukhtashar Al-Muntaha Al-Ushuly, Juz. 2, Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 1983, Cet. Ke-3.
Al-Subky, Ali ibn Al-Kafi, dan Tajuddin Abd Al-Wahhab Al-Subky, Al-Ibhaj fi Syarh Al-Minhaj, Juz. 1, Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 1984, Cet. Ke-1
Al-Zuhaily, Wahbah, Dr., Prof., Ushul Al-Fiqh Al-Islami, Beirut: Dar Al-Fikr, tth.
Arkoun, Mohammed, Berbagai Pembacaan Quran, (Jakarta: INIS, 1997). Kumpula artikelnya berjudul, Lectures de Coran.
Hudhari Bek, Ushul Al-Fiqh, Kairo: Al-Istiqamah, 1938, Cet. Ke-3
Khallaf, Abd Al-Wahhab, Ilmu Ushul Al-Fiqh, Kuwait: Dar Al-Qalam, 1978, Cet. Ke-12.
Lapidus, Ira M., Sejarah Sosial Umat Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2000, Cet. Ke-2
Masdar, Umarudin, Agama Kolonial, Colonial Mindset dalam Pemikiran Islam Liberal, Yogyakarta: Klik, 2003, cet. Ke-1.
Shahrur, Muhammad, DR. Ir., Al-Kitab wa Al-Quran; Qira'ah Muashirah, yang pembahasan tentang Al-Quran telah diterbitkan dalam edisi Indonesia, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al-Quran, Yogyakarta: Elsaq, 2004, Cet. Ke-1.
Syalabi, Ahmad, (terj. Mukhtar dan Sanusi), Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: PT Al-Husna, 1982), Cet. Ke-3
Syamsuddin, Syahiron, dkk, Hermeneutika Al-Quran Mazhab Yogya, Yogyakarta: Islamika, 2003, Cet. Ke-1
Zaid, Nashr Abu, Tekstualitas Al-Quran, terj. Khoiran Nahdhiyin, Yogyakarta: LKiS, 2002, cet. Ke-2.