Kamis, Juni 11, 2015

MENGAPA KELAS JAUH HARUS DILARANG?

Ketika Direktorat Pendidikan Tinggi Islam merilis PTAI yang diduga menyelenggarakan kelas jauh, dunia pendidikan tinggi “gempar”. Setidaknya ada tiga respon yang muncul. Pertama, menyatakan keberatan karena merasa tidak menyelenggarakan kelas jauh. Kedua, menyatakan keberatan meski menyelenggarakan kelas jauh. Ketiga, tetap adem-ayem melanjutkan menyelenggarakan kelas jauh. Keempat, mengakui menyelenggarakan kelas jauh dan meminta secara gentlemen untuk melakukan penataan secara bertahap. Ibarat orang tua yang menjewer anaknya yang nakal, memang kadangkala ada yang rela dijewer karena mengakui kesalahan tapi ada pula yang tidak rela dijewer karena merasa mempunyai power untuk lepas dari jeweran tersebut.Pelbagai respon ini tentu membawa efek yang berbeda-beda. Tapi bagi mayarakat pada umumnya, penyelenggaraan pendidikan yang “on the track”-lah yang diharapkan. Karena jaminan mutu pelaksanaannya bisa dipertanggungjawabkan.

Mendefinisikan “Kelas Jauh”
Dalam edaran Dirjen Pendidikan Tinggi No. 016/D/T/1988 terminologi penyelenggaraan pendidikan yang “terlarang” disebut dengan Penyelenggaraan Program Khusus pada Perguruan Tinggi Swasta, dengan beberapa indikator; pertama, perkuliahan hanya dilaksanakan dalam satu atau dua hari secara terus menerus dalam satu minggu. Kedua, perkuliahan hanya dilaksanakan pada hari jumat dan sabtu saja atau pada hari minggu atau pada hari libur saja. Ketiga, penerimaan mahasiswa yang lokasinya jauh dan tidak memungkinkan untuk bisa mengikuti kegiatan perkuliahan dengan sistem SKS. Keempat, kondisi tenaga pengajar yang tidak mungkin menunaikan tugasnya sesuai dengan sistem SKS. Lalu pada tahun 1997 dalam edaran Nomor 2559/D/T/97 secara tegas istilah kelas jauh adalah pendidikan model jarak jauh yang tidak berizin. Pemerintah hanya mengizinkan pendidikan jarak jauh yang diselenggarakan oleh Universitas Terbuka (UT). Hal itu kemudian ditegaskan kembali dalam edaran Nomor 2630/D/T/2000 bahwa kelas jauh selain model UT dilarang. PTN dan PTS dapat menyelenggarakan pembelajaran model UT yang akan diatur dalam regulasi tersendiri. Nomenklatur “kelas larangan” ini berkembang terus dengan berbagai bentuknya. Ada yang menyebutnya dengan “kelas eksekutif”, “kelas khusus” dan sejenisnya. Pada tahun 2005, larangan tersebut ditegaskan kembali dalam surat Ditjen Pendidikan Tinggi Nomor 1506/D/T/2005. Dalam surat edaran tersebut sudah berani menyebutkan efek “kelas larangan” tersebut—di antaranya—adalah bahwa ijazah yang dikeluarkannya dianggap tidak sah. Penegasan ketidaksahan ijazah tersebut juga ditegaskan dalam edaran yang diterbitkan pada tahun 2007 dengan Nomor 595/D5.1/T/2007. Pada tahun yang sama Direktur Jenderal Pendidikan Islam mengeluarkan edaran dengan Nomor: Dj.I/PP.00.9/1325A/2007 untuk memperjelas ruang lingkup “kelas larangan” tersebut, yaitu Pertama, penyelenggaraan proses belajar mengajar di luar kampus perguruan tinggi dalam kondisi normal; Kedua, pengorganisasian rombongan belajar khusus untuk semata-mata mempercepat waktu penyelesaian studi; ketiga, pembukaan kelas (cabang) perguruan tinggi di lokasi lain; keempat, penyelenggaraan perguruan tinggi tanpa izin dengan mendaftarkan legalitas pesertanya pada perguruan tinggi lain yang akan mengeluarkan ijazah; kelima, modus-modus lain yang pada intinya menyalahi praktik pendidikan dan cenderung menyederhanakan/mempermudah pemberian ijazah dan gelar akademik.
Dengan definisi yang tertuang dalam beberapa “generasi” edaran tersebut, maka adalah sah jika pemangku kebijakan menjalankan sanksi-sanksi sebagai bentuk pelaksanaan amanah atas jabatan yang dititipkan kepadanya. Yang menarik lagi, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga merasa berkepentingan untuk memahami seluk-beluk kelas jauh ini, mengingat kekhawatiran masyarakat akan merebaknya “kelas terlarang” tersebut.

Efek Sertifikasi
Perjalanan saya ke beberapa daerah menunjukkan bahwa pada umumnya prodi yang diselenggarakan pada “kelas terlarang” adalah prodi pada bidang ilmu pendidikan khususnya Pendidikan Agama Islam (PAI), termasuk di perguruan tinggi umum. Bisa jadi, ini dikarenakan prodi PAI—dan juga prodi kependidikan lainnya—mempunyai “masa depan” yang jelas karena “kelenturan” prodinya, bisa menjadi guru apa saja dan di mana saja. Kira-kira begitulah yang mengemuka di masyarakat. Arus ini makin menguat ketika program sertifikasi dicanangkan sebagai amanat dari Undang-Undang 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Nah, kondisi ini juga tidak bisa dipisahkan dari kebijakan sertifikasi guru di lingkungan Kementerian Agama yang diterapkan boleh “melintas batas” bidang ilmu. Misalkan saja, guru bidang studi dan guru kelas bisa dari PAI. Kondisi yang demikian dimanfaatkan betul oleh penyelenggara perguruan tinggi sebagai “magnet” untuk meningkatkan jumlah mahasiswa.

Kelas Jauh; Merugikan Institusi Keagamaan
Hampir bisa dipastikan bahwa pendidikan model kelas jauh, proses pendidikannya tidak benar. Meskipun tidak dipungkiri ada juga yang “benar”. Beberapa fakta yang ditemukan di lapangan, setidaknya ada beberapa model “pelanggaran” yang dilakukan. Pertama, memperkecil jam kuliah. Jika SKS ditetapkan 3 SKS yang berarti 50” x 3 = 150” (2 Jam 30 menit), realisasinya—bisa jadi—hanya 1 Jam 30 menit atau lebih sedikit. Kedua, menerapkan model pembelajaran sistem “rapel.” Karena daya jangkau dosen adalah jauh, maka ketika dosen pemangku mata kuliah tertentu hadir, kesempatan tersebut dimanfaatkan untuk meng-‘jama’ perkuliahannya. Ibarat orang minum obat, resep normal adalah 1 x 3. Karena ingin cepat “sembuh”, maka “obat” yang diminum menjadi 3 x 1. Bisa dibayangkan jika mahasiswa kelas jauh tersebut diumpamakan minum obat? Ketiga, cenderung motivasi yang dominan adalah motivasi ekonomi. Dengan jumlah mahasiswa yang meningkat, maka pembiayaan pendidikan bisa tertanggulangi. Bahkan tidak jarang, proses pendidikan lebih singkat dari yang semestinya dengan kompensasi tertentu. Sehingga, ada “sisa” operasional. Bahkan beberapa laporan masyarakat yang ditujukan kepada Direktur Pendidikan Tinggi Islam, ada beberapa laporan terjadi “jual beli” ijazah. “Sungguh menyedihkan!” Praktik yang demikian itu kemudian memunculkan “plesetan” yang merugikan. Sebutan STAI menjadi Sekolah Tidak Ada Ijazah, STIS (Sekolah Tidak Ijazah Siap), dan labeling lainnya. Tentu ini merugikan citra pendidikan agama. Keempat, cenderung membolehkan—untuk tidak menggunakan istilah “menghalalkan”—segala cara. Proses pendidikan yang rata-rata 144 SKS, dengan beban tiap minggunya 20-24 SKS bisa di”olah” sedemikian rupa.

Perguruan Tinggi Tidak Menggubris Larangan
Memperhatikan efek negatif tersebut, Pemerintah melalui Ditjjen Pendidikan Tinggi Kemdikbud dan Ditjen Pendidikan Islam Kemenag mengeluarkan edaran dan larangan penyelenggaraan kelas jauh sejak tahun 1988. Tahun 1997 Dikti mengeluarkan larangan tersebut yang teruang dalam Surat Edaran Nomor 2559/D/T/97, bahkan di dalamnya termasuk kelas hari Sabtu-Minggu. Karena respon yang tidak begitu digubris, Kementerian Agama juga mengeluarkan edaran untuk memperkuat edaran yang dikeluarkan oleh Ditjen Pendidikan Tinggi, pada tahun 2007. Berbagai edaran diterbitkan, namun tidak digubris oleh masyarakat perguruan tinggi. Di lingkungan Kementerian Agama, Direktur Pendidikan Tinggi Islam menerbitkan PTAI yang diduga menyelenggarakan kelas jauh beserta sanksinya, yang tertuang dalam surat Nomor: Dj.I/Dt.I.IV/4/PP.)).9/3437/13 . Penerbitan sanksi ini dalam rangka penataan penyelenggaraan PTAI.

Pendidikan Agama tidak melulu urusan dunia.
Penerbitan sanksi tersebut harus dipahami dengan posisinya yang tepat. Memang, jika dipahami dari kacamata individual akan dipandang sebagai sesuatu yang tidak tepat. Mengkaji penyelenggaraan pendidikan agama Islam atau prodi keagamaan pada PTAI, bukanlah melulu urusan mencari nafkah setelah seorang mahasiswa menyelesaikan studinya. Mengajarkan keagamaan kepada masyarakat akan dipertanggungjawabkan kepada Allah. Untuk itu diperintahkan agar mengajarkannya dengan ketuntasan, entah berhubungan dengan masa depannya di dunia atau tidak. Bahkan, dalam beberapa literatur klasik Islam, menuntut ilmu untuk motivasi dunia dianggap termasuk ke dalam kerugian. Syech Adz-Dzarnuji, penulis buku panduan menuntut ilmu “ta’lim al-muta’allim” mengatakan dalam Syairnya, “Barang siapa yang mencari ilmu untuk Tuhannya, maka Dia akan senantiasa menjaganya dalam petunjuk-Nya. Aduhai sungguh merugi orang yang mencari ilmu karena hanya untuk kepentingan mengisi perut.” Agaknya syair tersebut diinisiasi oleh firman Allah Swt dalam sebuah hadis Qudsy, “ Wahai Dunia, jagalah hamba-hamba-Ku karena mereka menuntut ilmu karena Aku. (Sebaliknya) Wahai Dunia, silahkan ambil (baca: perbudak) hamba-hamba-Ku karena menuntut ilmu karena kamu.”
Untuk itu, menempuh proses studi dengan cara cepat dan singkat tidak mungkin dapat membekali mahasiswanya dengan tuntas. Maka, bagaimana nasib anak bangsa ini, jika para pendidiknya adalah produk “kelas jauh”? Bagaimana akhlak anak bangsa ini, jika pendidiknya adalah produk “ketidakbenaran”? Jangan-jangan mereka akan mengajarkan kesalahan dan dosa karena minimnya wawasan keagamaannya. Begitu besar bahayanya “orang-orang pintar” jika mempunyai kekuasaan.
Ingat kata Syaikh Adz-Dzarnuji juga pernah wanti-wanti, “fasadun kabirun ‘alimun mutahatikun” (kerusakan yang amat besar karena orang-orang pandai yang merusak). Yang saya khawatirkan, jangan-jangan, kemerosotan pendidikan agama Islam saat ini adalah efek model produksi tenaga pendidik dan kependidikan yang demikian itu.
Perlu ada pemahaman bersama bahwa studi di PTAI bukanlah ditujukan untuk mempersiapkan tenaga kerja atau orang yang siap kerja di perusahaan-perusahaan tertentu. Karena kurikulum pada PTAI tidak mentransformasi kompetensi tersebut. Pendidikan di PTAI adalah melampaui (beyond) hal tersebut. Meski tidak dipungkiri, bahwa lulusan PTAI mempunyai daya lentur yang sangat tinggi dalam hal profesi atau pilihan dunia kerjanya.
Semoga bermanfaat!!
*) Penulis adalah Kasi Pembinaan Kelembagaan Subdit Kelembagaan Diktis. Tulisan ini merupakan ekspresi pribadi sebagai refleksi atas penyelenggaraan pendidikan tinggi agama Islam selama ini.