Senin, November 06, 2006

Siapa Anis Masykhur itu?

Namanya ANIS MASYKHUR, biasa dipanggil Anis. Memang, orang mengira dia berjenis kelamin perempuan. Padahal dia berjenis kelamin laki-laki. Dia lahir di sebuah kampung di kaki gunung Sumbing, tepatnya di Temanggung, 26 Juli 1977. Semenjak kecil, dengan lingkungan belajar di Pesantren Al-Ishlah Salafiyah, dia juga menempuh pendidikan formal di MI MIFTAHUL FALAH Gondosuli Th. 1989, selesai di MTsN Parakan Th.1992, di MAN PK (Program Khusus) Surakarta Tahun 1995, di Fakultas Syariah (Hukum Islam) Jurusan Al-Akhwal Al-Syahshiah IAIN Syarif Hidayatullah Tahun 2000 dengan yudicium cum laude. dan di Program Pascasarjana Syariah, Konsentrasi Fiqh Al-Siyasah (Ilmu Politik Islam) IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta selesai pada Tahun 2004.Selama menempuh pendidikan S-1 nya, dia pernah ngaji sebentar di P.P. Darus Sunnah Ciputat, tahun 1999, pondok pesantren ilmu hadis, dan juga di Lembaga Bahasa dan Ilmu Al-Quran (LBIQ) Jakarta.
Proses panjang pendidikan tersebut telah menjadi bekal baginya untuk mengartikulasikan gagasannya dalam beberapa artikel ataupun opini di berbagai media. Di bawah ini adalah data-data artikel yang terdokumentasikan. Dan ada beberapa yang tidak terdokumentasikan.

I. Bidang Agama
1. Hijrah, Tonggak Peradaban dimuat di Pelita ; 08 Mei 1998
2. Kehidupan Beragama Di Indonesia, Pelita; Jumat, 08 Agustus 1997
3. Menyimak Makna MTQ Nasional dalam Pelita, Sabtu, 19 Juli 1997
4. Fiqh Zakat, Untuk Pengentasan Kemiskian, dalam Majalah Akrab, Depag DKI edisi Bulan November 1997
5. Kerukunan Umat Beragama,atas nama Dara Yusilawati Akrab, November 1997
6. Haji; Egalitarianisme dan Universalisme, Akrab, April 1998
7. Haji, Ibadah Anti Struktur, Pelita, Sabtu, 03 April 1999
8. Haji, Simbol Egalitarianisme dan Universalisme, Majalah Akrab, Edisi Bulan April 1998
9. Dari Ketapang Sampai Kupang, dalam Pelita; 08 Oktober 1998
10. Hikmah Di Balik Isra’ Mi’raj: Membentuk Manusia seutuhnya, Majalah Akrab No.197/IX/November/1999
11. Haji: Ibadah Komunitas dan Ibadah Liminalitas, Akrab, No. 200/XVI/Februari/2000
12. Simbul Egalitarianisme Ibadah Haji, atas nama Dara Yusilawati, Pelita, 1998
13. Hijrah dan Rekonsiliasi Nasional, Pelita, 10 April 2000
14. Agama dan Harmonitas Sosial, Pelita, Sabtu 24 Juni 2000
15. Isra’ Mi’raj: Membangun Dimensi Kontrol dan Optimisme, Pelita, Jumat, 27 September 2000
16. Anak Berprestasi Langkah Antisipasi Terhadap Sekularisasi, Pelita, Kamis, 2 November 2000
17. Hijrah, Tonggak Lahirnya Peradaban, Akrab, Maret 2001
18. Pribumisasi Syariat sebagai Jalan Tengah, Media Indonesia, 21 September 2001.
19. Mudik, Kembali KE Fitrah, Akrab, Desember 2000
20. Ramadhan; Momentum Reformasi, Tribun Kaltim, Selasa 19 Oktober 2004

II. Bidang Hukum
21. Santet, Perspektif Islam dan Hukum Pidana, Pelita, 6 November 1998
22. Membincangkan Sistem Hukum Perkawinan Nasional; Sebuah Usulan Perubahan UU No. 1 Tahun 1974, Pelita, 15 September 2000
23. Sistem Hukum Perkawinan Nasional, atas nama Tuhfatul Muhtaj, Pelita, Jumat, 29 September 2000
24. Amandemen Tentatif, Pelita, Senin 9 Oktober 2000
25. Signifikansi Perubahan UU. No. 1 Tahun 1974, AKRAB, Desember 2000

III. Bidang Politik
26. Arus Bawah dan Konstelasi Politik Kita, Pelita, Selasa, 12 Agustus 1997
27. NU, Masa Lalu dan Sekarang, dalam Pelita, Senin, 24 November 1997
28. Memberantas Budaya Korupsi dan Kolusi,atas nama A. Tholabi Pelita, Jumat, 5 Desember 1997
29. Mencari Sumber Krisis dalam Pelita; Sabtu,19 September 1998
30. Kesenjangan Sosial Dan Kerusuhan Massa dalam Pelita; Selasa, 06 Oktober 1998
31. Demontrasi Sama dengan Demokrasi ? dalam Pelita; Senin, 30 November 1998
32. Dari Ketapang sampai Kupang, Pelita, Selasa; 8 Desember 1998
33. NU, Kembali ke Islam Politik ? dalam DUTA; Senin, 24 Mei 1999
34. NU, Kembali ke Islam Politik, Media Pembinaan Depag JABAR
35. Tradisi “Jalan Tengah” NU, DUTA; Sabtu, 10 Juli 1999
36. Mengevaluasi Gerakan Mahasiswa, Suara Karya, Jum’at; 29 Oktober 1999 – No.8864 Th. XXIX.
37. Bughat dalam Konstelasi Politik NU, Pelita, Jumat, 6 April 2000
38. NU Menjadi Oposisi, Mungkinkah?, Pelita, Rabu, 12 April 2000
39. Antara Radikalisme Publik dan Frustasi Politik, Pelita, Rabu, 12 Juli 2000
40. Menggugat Hak Prerogatif Presiden, Pelita, Jumat, 19 Mei 2000
41. Mempertaruhkan Demokrasi, Pelita, 24 April 2001
42. Dibalik Tuduhan Sebagai Teruris, Republika, Selasa; 9 Oktober 2001.
43. Kontroversi Kompatibilitas HAM dan Agama, Jurnal HAM, Departemen Kehakiman dan HAM R.I. Edisi I/September 2002.

IV. Bidang Lingkungan
44. Saatnya Menghemat Air, Pelita, Kamis; 28 Agustus 1997
45. Kebakaran dan Asap, atas nama Dara Yusilawati, Pelita, Senin, 6 Oktober 1997
46. Dilema Kemarau Panjang, atas nama Dara Yusilawati, Pelita, Sabtu, 13 September 1997
47. Gerakan Hemat Air, atas nama Moh. Ali Fatoni, Pelita 1998
48. Krisis Air, Siapa yang Salah?, Tribun Kaltim, 6 September 2004

V. BIDANG PENDIDIKAN
49. QUO VADIS PERGURUAN TINGGI AGAMA?; Studi Analisis Problem Perguruan Tinggi Agama Islam di Indonesia, Jurnal Dinamika Ilmu, Jurusan Tarbiyah STAIN Samarinda, Juni 2005.
50. Menjadikan Kkl Sebagai Media Dakwah Dan Publikasi; Evaluasi Kritis Penyelenggaraan KKL 2004, Jurnal LENTERA, Jurusan Dakwah STAIN Samarinda, Juni 2005
51. TA'WIL; Alternatif Metodologis Pembacaan Atas Teks (Nash), Jurnal Madzahib, Jurusan Syariah STAIN Samarinda, Juni 2005.

B. RESENSI BUKU
52. “Menggugat Politik Islam” dari “Buku Politik Demi Tuhan”, dalam Kompas, Minggu, 5 September 1999
53. “Tengger: Potret Perubahan Sosial dan Politik” dari buku “Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perubahan Politik” dalam Media Ka’bah Edisi No.18 Th.I 24 September 1999
54. “Mencermati Gerakan Mahasiswa” dari buku “Mahasiswa Menggugat: Potret Gerakan Mahasiswa 1999” dalam Media Ka’bah edisi 23 Thn.I. 29 Oktober 1999.
55. “Jika Rakyat Berkuasa: Upaya Membangun Masyarakat Madani Dalam Kultur Feodal” dalam Media Ka’bah ediri 10 Thn I, 29 Juli 1999.
56. Tradisi Jalan Tengah NU, dari buku “NU vis-a-vis Negara”, Media Ka’bah No. 8/Th.I/14 Juli 1999.
57. “Kekerasan; Akankah Menjadi Budaya.” Atas nama Sufyani, dari buku Politik Kekerasan Orba, Akrab, Januari 2000
58. “Memahami Gaya Berpikir Gus Dur,” dari buku Prisma Pemikrian Gus Dur, Akrab, Juni 2000
59. “Mempertemukan Agama dan Filsafat,” dari buku Agama dan Filsafat, Pelita, Selasa 1 Agustus 2000
60. “Islam: Jalan Keluar dari Permasalahan,” dari buku ‘Islam dan Permasalahan Sosial,” Pelita, Selasa, 26 September 2000
61. Resensi: Akal versus Ayat-ayat Mutasyabihat, dari Buku Mutasyabih Al-Qur’an; Dalih Rasionalitas Al-Quran, Pelita, Selasa, 24 Oktober 2001
62. Resensi Buku: “Menggugat Wacana Subordinasi Perempuan.” Akrab, Mei 2000
63. Resensi Buku: “Menapaki Jejak Kaum Sufi” dari buku Jenjang-jenjang Sufisme, Pelita, 29 November 2000
64. Resensi Buku: “Menjelajah Dunia Sufisme,” dari buku yang sama, Akrab, Februari 2001
65. Resensi Buku: “Islam Sufistik,” Pelita: Desember 2001

C. BUKU, TERJEMAHAN, dan KONTRIBUTOR
66. Editor buku “Menguak Alam Ghaib”, (Hikmah: November, 2001)
67. Penulis buku “Doa Ajaran Ilahi; Doa-doa dalam Al-Quran dan Tafsirnya” (Hikmah; November, 2001)
68. Penulis buku “Menyingkap Tabir Kematian” (Jakarta: Mawardi Prima, Februari 2003)
69. Kontibutor 50 entri pada “Ensiklopedi Al-Quran,” (Massih dalam proses penyusunan, Yogyakarta: 2002)
70. Kontributor Entri “Biografi Intelektual Pesantren,” Jakarta: Praja, 2003
71. Penerjemah dan Penyunting buku, “Cerdas Beragama Bersama Imam Al-Nawawi” terj. dari “Al-Fatawa li Imam Al-Nawawi,” (Jakarta: Hikmah, Agustus 2002)
72. Penerjemah Buku, “Wasail li Muqawamati Al-Ghazw Al-Fikr,” (Jakarta: Hikmah, September 2002)
73. Penerjemah Buku, “Majmu’ Fatawa li Ibn Al-Taymiyah: Kitab Ilm Al-Suluk,” menjadi, Risalah Tasawuf Ibnu Taimiyah (Jakarta: Hikmah, November 2002)
74. Penerjemah Buku, “Mukâsyafât Al-Qulûb Al-Muqarrib min ‘Allâm Al-Ghuyûb, (Jakarta, Hikmah 2002)
75. Penerjemah Buku, “Jamâl Al-Mar’ah wa Jalâluha.” (Jakarta: Hikmah, 2003)
76. Penyunting (menyempurnakan) dan editor buku “Ilmu Hadis” karya H. Mundzier Suparta, MA.
77. Anggota Tim Penyusun “Buku Fiqh” untuk Jilid I s.d III untuk Madrasah Aliyah.
78. Penyusun Buku “Pedoman Pengelolaan Lembaga Pendidikan Al-Quran Al-Kabadiyah,” (Ciputat: Al-Kabadiyah, 1999)
79. Penyusun Kurikulum Pengajaran LPQ Al-Kabadiyah,” (Ciputat: Al-Kabadiyah, 1998)
80. Penulis buku, “Doa Ajaran Rasul,” (Hikmah: Jakarta 2003)
81. Penulis buku "AQIDAH AKHLAK" Kelas 1 dan 2 MA
82. Penulis buku "Fiqh Remaja" (dalam tahap penyelesaian)
83. Penulis buku "Khutbah Jumat Seri 1" (Jakarta: Hikmah, 2006)
84. Penulis buku "Khutbah Jumat Seri 2" (Jakarta: Hikmah, dalam tahap penyelesaian)
85. Penulis buku "Khutbah Jumat Seri 3" (Jakarta: Hikmah, dalam tahap penyelesaian)

D. PARTISIPASI LOMBA KARYA ILMIAH
86. Juara I Lomba Karya Tulis Ilmiah dalam SMI Fair ‘1998 IAIN Jakarta yang berjudul; Dialektika Agama Dan Negara, yang kemudian dimuat dalam Majalah Media Pembinaan Jawa Barat setelah diringkas yang berjudul: “Agama Dan Negara Pasca Orde Reformasi” Edisi Bulan April 1999
87. Juara Harapan III Lomba Karya Tulis Ilmiah yang diselenggarakan olehRektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan Judul “Peran Moral, Agama dan Kemanusiaan dalam memandu Masa Depan Bangsa Yang Demokratis” dan dipresentasikan pada tanggal 20 Agustus 1999.
88. Peserta Lomba Karya Ilmiah BAZIS DKI Jakarta 2000
89. Peserta Lomba Karya Tulis Ilmiah Ekonomi Sryariat (LKTES) UI Depok, Mei 2001

E. PENELITIAN
90. Tim Penelitian Pre-Liminary, “Sistem Pengelolaan Taman Kanak-Kanak (TK) Islam di Jakarta,” (Bogor: Al-Hidayah, 2000)
91. Pelaksana, “Pengelolaan Masjid Modern” (Bogor: Al-Hidayah, 2000)
92. Peneliti, “Aksi Kekerasan Massif di Wilayah DKI Jakarta” (Jakarta: Pusat Penelitian IAIN Jakarta, 2001)
93. Tim Peneliti, “Perilaku Permissifitas Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,” (Jakarta: Puskum-HAM, 2002)
94. Koordinator Tim Peneliti, “Perilaku Perkawinan dan Perceraian Masyarakat Lebak Banten,” (Jakarta: Ditbinbapera, 2002)
95. Tim Peneliti “Visi Keagamaan Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam implementasi Hukum Pidana Islam,” (Jakarta: Puskum-Ham 2002)
96. Tim Peneliti, “Tindak Kekerasan terhadap Perempuan dan Pengaturannya dalam Peraturan Perundang-Undangan,” (Jakarta: Puskum-HAM dan Balitbang Depkeh-HAM, 2003)
97. Tim Peneliti, “Kajian Tentang Hak Memiliki dan Berpindah Kewarganegaraan bagi Wanita yang Menikah dengan Pria Asing,” (Jakarta: Puskum-HAM dan Balitbang Depkeh-HAM, 2003)
98. Peneliti, "Pemetaan Muzakki di Kota Samarinda," STAIN Samarinda th. 2005
99. Peneliti, "“Perilaku Permissifitas Mahasiswa; Menguak Perilaku Pacaran Mahasiswa STAIN Samarinda,” (STAIN Samarinda: P3M, 2005)

MENGGUGAT POLITIK ISLAM

(Tulisan ini pernah dimuat di Harian Kompas, Minggu, 5 September 1999)

Judul Buku : Politik Demi Tuhan
Nasionalisme Religius Di Indonesia
Penulis : Abdurrahman Wahid dkk
Editor : Andito (Abu Zahra)
Pengantar : Eep Saefulloh Fatah
Cetakan : I , Juni 1999
Tebal : 436 halaman
Penerbit : Pustaka Hidayah, Bandung
Harga : 34.000,00
Pemilu 1999 telah memunculkan 48 partai, sebagai sebuah ‘ledakan partisipasi’ masyarakat. Tapi sayang, dari sekian banyak partai Islam atau berbasis massa Islam dalam pemilu tersebut tidak memperoleh suara yang signifikan. Sehingga muncul anggapan bahwa pemilu kali ini adalah simbol kekalahan umat Islam.
Hal inilah yang disorot dalam buku yang berjudul “Politik Demi Tuhan” ini, yang menggugat kembali keberadaan Politik Islam, apakah benar membawa misi suci atau politisasi?, Benarkah naiknya B.J. Habibie sebagai presiden itu merupakan representasi politik (umat) Islam ?.
Sebab menurut William Liddle, sebagaimana dikutip oleh Eep Saefullah Fatah dalam pengantarnya, hubungan dekat antara Islam dan negara di era akhir pemerintahan orde baru adalah akibat dari pergeseran kecenderungan di tingkat elit politik bukan akibat dari proses Islamisasi di tengah masyarakat secara luas. Hal senada juga dipaparkan oleh Schwarz mengenai apa yang disebut dengan kebangkitan Islam (Islamic revivalism) dalam politik Orde Baru kontemporer. Ia melihat ICMI sebagai pusat kekuasaan baru dengan B.J. Habibie sebagai gantungan politiknya, dan tidak sebagai representasi naiknya politik Islam.
Eep juga menggambarkan nasib ‘tragis' politik Islam yang selalu terjebak dalam pusaran; bergumul dengan dirinya sendiri dan menelan kekalahan pada semua pihak, lantaran tidak terkelolanya fragmentasi, disintegrasi dan lemahnya jaringan politik di antara mereka. Akibatnya, umat Islam senantiasa mengalami marginalisasi sosial, ekonomi dan politik. Berbagai kekeliruan politik itu disebut olehnya sebagai sebuah “fenomena gigantisme”; fisik besar, tapi sebenarnya penuh penyakit. Oleh karena itu, sebagai pilihan terbaik bagi masa depan politik umat Islam yang gemilang adalah sebuah arus balik.
Kekhawatiran senada juga dipaparkan oleh Mas Kunto ---panggilan akrab Kuntowijoyo--- yang selalu mewanti-wanti akan politik atas nama agama. Sebab politik itu berdimensi tunggal sementara agama berdimensi banyak. Politik hanya bagian sangat kecil dari agama, sepersekiannya. Bila pada akhirnya menjadikan agama sebagai sebuah politik, maka yang terjadi adalah sebuah reduksi besar-besaran atas makna agama. Politik akan mengakhiri sifat multi-dimensi agama. Baginya, agama yang hanya sampai di tingkat ormas (sebagaimana NU dan Muhammadiyah) tak berarti agama itu banci, mandul dan impoten. Banyak cara untuk mengekspresikan kepedulian pada bidang politik, tanpa simbol-simbol keagamaan. Agama hanya sampai ke tingkat ormas ialah untuk menjaga jangan sampai agama kena getah politik. Sebab keberadaan parpol itu hanya timbul-tenggelam, bisa jadi sekarang mayoritas besok minoritas (hal.121-125).
Bagi Cak Nur, salah satu ide yang amat kuat dalam wawasan politik modern ialah terbentuknya negara hukum (recht staat) dan mencegah tumbuhnya negara kekuasaan (macht staat). Maka dari itu, baginya posisi Islam dalam politik modern adalah bagaimana menghidupkan dan meneguhkan kembali nilai-nilai tersebut, serta nilai keislaman klasik (salaf) yang murni, dan kemudian menerjemahkannya dalam konteks ruang dan waktu yang ada (hal.81). Jiwa ajaran Islam adalah yang paling dekat dengan segi-segi positif modernitas. Oleh karena itu keberadaan partai atas nama agama bukanlah suatu modernitas, karena hanya akan lebih menyuburkan praktik simbolisme dalam kehidupan beragama.
Sedang dalam pandangan Abu Zahra, editor buku ini, politik perlu dipahami sebagai sesuatu yang berdimensi normatif—sebagaimana definisi umum agama—bukan materialistik. Politik harus dimaknai sebagai sebuah upaya manusia untuk meraih kesempurnaan dengan pengalamannya menuju maslahat, bukan dimaknai sebagai kekotoran (filthy) atau penuh intrik. Oleh karena itu berpolitik merupakan sesuatu yang inheren dengan kemanusiaan (hal.22-23). Ketika agama, politik, dan negara dipandang sebagai suatu kemanunggalan, simbolisasi agama tidak lagi menjadi sebuah keharusan. Ia menafikan sarat bahwa sebuah pemerintahan harus dipimpin orang yang ber-KTP Islam. Karena seorang non-Islam pada dasarnya bisa menjalankan pemerintahan Islam, jika ia menjalankan kekuasaan dengan landasan nilai-nilai kebenaran universal; menjalankan sistem yang transparan, adil, bijaksana, mengayomi, dan melakukan advokasi politik pada rakyat.
Buku ini memang sengaja dihadirkan di tengah campur-aduknya pendapat tentang eksistensi agama di dalam konstelasi politik Indonesia dewasa ini. Diberi judul “Politik Demi Tuhan” karena melihat arah politik Indonesia telah mulai menyentuh wilayah yang paling ‘sakral’, yakni Tuhan. Nama Tuhan telah menjadi ‘komoditas’ untuk memenuhi target politik (hal.32). Sebagai akibatnya, telah terjadi monopoli tafsir kebenaran.
Kesimpulan akhir dari buku ini --diantaranya-- adalah sebuah ide tentang “nasionalisme religius”, sebuah ide tentang pandangan peleburan perspektif keagamaan dalam kehidupan politik dan sosial. Artinya, agama harus mewarnai sistem perpolitikan, tanpa melalui simbolisasi keagamaan dalam struktur pemerintahan. Fenomena gugat-menggugat tentang Islam-tidaknya sebuah lembaga berdasarkan simbol yang disandangnya bukanlah persoalan krusial. Yang lebih urgen adalah mengkritisi dan menilai representasi keislaman lembaga (mana saja) pada substansi agenda-agenda besar yang dibawanya yaitu ‘kebenaran universal’. Sebab umat Islam lebih sering terjebak pada kekeliruan, yang lebih suka mengurusi “kulit” daripada “isi”. Seperti yang terjadi dengan labelisasi ‘halal’ di masa Orba. Kalangan umat Islam menyambut kebijakan itu dengan gempita. Jarang (bahkan hampir tidak ada) ada yang mengkritisi kebijakan itu dari konteks ekonomi politik dan transparansi-transparansi metodologis labelisasi. Hampir tidak terbaca berapa besar kolusi dan korupsi di balik ‘halalisasi’ itu.
Buku ini ditutup dengan epilog Eep Saefulloh Fatah, pengamat politik UI. Ia mengatakan bahwa Politik Islam potensial terjebak pada kekeliruan masa lalu. Kekeliruan itulah yang menjadi sebab terpenting dari kekalahan politik kalangan Islam selama ini. Oleh karena itu Ia mewanti-wanti dengan menawarkan agenda format baru politik Islam, agar tidak selalu dikecewakan akibat ‘kecerobohan’nya itu, yakni; menyokong reformasi menyeluruh, membangun publik yang aktif, dan membangun oposisi permanen.
Selamat membaca !

Minggu, November 05, 2006

TUGAS MAHASISWA SAS III DAN SMU V STAIN SAMARINDA

(tugas ini merupakan penjajakan awal tentang kemampuan analisis anda sebelum anda lebih jauh mengikuti mata kuliah ini)

Ada beberapa tulisan dalam situs www.anis-masykhur.blogspot.com ini yang mencoba mengeksplorasi pemikiran modern dan mencoba mengemukakan ide-ide pemikiran keislaman yang disesuaikan dengan konteks kemodernan.
Ada tugas bagi anda semua, baik mahasiswa Syariah Muamalah ataupun Ahwal Asy-Syahsyiah.
1. Berikan komentar singkat anda tentang tulisan-tulisan yang ada dalam situs tersebut. Terutama sekali tulisan saya tentang "Pencatatan Perkawinan" dan "Pribumisasi Syariat Islam." Komentar anda merupakan bentuk kehadiran anda. Saya akan mengabsen melalui situs ini. Komentar ini diberikan pada kolom "comment" yang berada di bawah masing-masing tulisan.
2. Anda juga diwajibkan membuat sebuah komentar yang detail dari tulisan tersebut yang terdiri dari (a) jabaran kesimpulan pemikiran (b) jabaran metode yang dipakai (c) komentar, pendapat, dan kritik anda atas pemikiran tersebut, dan (d) lain-lain
3. Tugas nomor (2), wajib anda kirimkan ke email anisku77@yahoo.com
4. Ada dua kehadiran bagi anda; pertama, kehadiran membaca dan memberikan komentar. Kedua, kehadiran mengirimkan email
5. Waktu anda sampai hari Sabtu tanggal 11 November 2006 pukul 15.00 Wita. Jika anda kurang memahami permasalahan dan persoalan, anda bisa menghubungi via email di atas, atau contact 0816.483.53.81 atau 0819.338.25.25.3
6. Sampaikan tugas ini kepada kawan-kawan anda, termasuk di kelas Ahwal Asy-Syahsyiah dan juga Muamalah. Tidak ada kata "tidak bisa!" dan "belum membaca tugas" ini. Selamat Mengerjakan!!!


By. Anis Masykhur

PRIBUMISASI SYARIAT SEBAGAI JALAN TENGAH

(Tulisan ini pernah dimuat di Harian Media Indonesia Tanggal 21 September 2001)

Ide yang bisa ditangkap dari tulisan Kharlie (Media Indonesia, 7/09/2001), adalah bahwa syariat Islam bisa diimplementasikan di negara ini berbarengan dengan program otonomi daerah. Tuntutan penerapan syariat hendaknya tidak terbatas pada Nangroe Aceh Darussalam, tapi bisa juga diterapkan di daerah-daerah di seluruh nusantara ini. Analisis Kharlie tersebut sangat lemah dilihat dari sisi teori dan kondisi empiriknya, karena sebenarnya implementasi syariat antara di era otonomi daerah maupun tidak, menghadapi kendala yang tidak jauh berbeda. Bahkan fenomena implementasi syariat ala Aceh Darussalam yang akan mendekati model pemerintahan Syiah-Iran masih banyak “digugat” di era mutakhir ini, terutama bila dikaitkan dengan kehidupan demokrasi. Selain itu, sebagai respon atas tuntutan tersebut (otonomi syariat), fenomena pengkotak-kotakkan daerah dalam bingkai keagamaan, bahkan kesukuan, dipastikan terjadi. Sebutlah misalnya Aceh adalah propinsi yang menerapkan syariat, maka Maluku akan menuntut juga sebagai propinsi orang Kristen, Bali sebagai propinsi orang Hindhu, dan (mungkin juga) Kalimantan sebagai propinsi orang Dayak, Jawa sebagai pulau khusus orang Jawa dan lain sebagainya. Ini justru lebih berbahaya bagi keutuhan bangsa ini.
Banyak kendala baik ideologis, empiris, maupun praktis, dalam penerapan syariat Islam ini, di tengah kompleksitas dan pluralitas bangsa ini. Apalagi tuntutan tersebut belum diikuti dengan penyusunan strategi dan organisasi yang rapi, serta tidak mempunyai arah yang jelas, karena tuntutan tersebut masih sekedar dalam dataran estimasi dan wacana. Harus disadari bahwa ada bahaya yang besar dalam mengartikulasikan ide tersebut bila diiringi oleh sikap ketergesa-gesaan. Karena persoalan tersebut pada akhirnya akan diselesaikan hanya di permukaan saja dan bangunan sosio-politik Islam akan mudah goyang. Hal itu akan menelan biaya kemanusiaan pada setiap individu.
Para penggagas syariat Islam agaknya juga melupakan kondisi riil (empiris) umat Islam sendiri. Meskipun syariat ini dipandang sedemikian penting dan menentukan, ternyata sebagian besar umat Islam Indonesia ini menolak pemberlakuan syariat secara menyeluruh. Tidaklah salah bila ada yang berpendapat bahwa sebagian besar syariat Islam di Indonesia saat ini merupakan proyeksi teoritis belaka, semacam sedang mengalami proses “fosilisasi” yang hampir selesai. Di sana-sini memang masih banyak didapati bekas-bekasnya, tapi dalam hampir semua manifestasi praktisnya yang masih ada, hukum Islam mengalami irelevansi secara berangsur-angsur namun pasti. Soal-soal perdata telah banyak dipengaruhi, diubah dan didesak oleh hukum perdata modern. Apalagi ketentuan-ketentuan pidananya, hampir secara keseluruhan telah diganti oleh hukum pidana modern. Masih hangat dalam benak kita, peristiwa eksekusi atas anggota lasykar jihad yang melakukan zina dihukum rajam—istilah bagi suatu hukuman yang dilempari dengan batu sampai mati—beberapa bulan yang lalu, mengakibatkan eksekutor-nya sendiri ditangkap aparat kepolisian dengan tuduhan melakukan tindak pidana. Karena aplikasi “syariat” tersebut dipandang bertentangan dengan hukum positif yang berlaku.
Apalagi hukum ketatanegaraan dan internasionalnya, hampir-hampir sudah tidak diketahui lagi di mana rimbanya. Kini, yang tersisa dari syariat Islam hanyalah persoalan ibadat yang masih mendapat tempat sepenuhnya dalam kehidupan, itupun dalam kadar dan intensitas yang semakin berkurang, dan lebih banyak bergantung kepada kemauan perorangan para pemeluk (agama) Islam yang taat.
Dalam hal demikian, laik dipertanyakan bahwa masihkah bisa dipertahankan kebenaran klaim hukum Islam sebagai penentu pandangan hidup dan tingkah laku para muslimin di nusantara ini? Apakah yang dapat dilakukan syariat jika tidak memiliki relevansi dalam kehidupan di masa modern?
***
Implementasi syariat (hukum) Islam secara penuh memang masih menjadi slogan perjuangan yang memiliki appeal cukup besar, meskipun sekedar dalam dataran angan-angan akan sistem kenegaraan Islam. Akan tetapi estimasi tersebut harus ditegakkan di masa depan, betapapun jauhnya masa depan itu sendiri berada dalam perspektif sejarah. Hanya dengan keyakinan yang membara bahwa Islam adalah sebuah sistem kemasyarakatan yang harus didirikan di Nusantara ini, tidaklah cukup. Sebab massa Islam sendiri belum banyak memahami permasalahan ini, karena terbukti hampir semua gerakan Islam tidak mampu melakukan mobilisasi kekuatan massal untuk mendukung gagasan tersebut. Malah sebagian besar kaum muslimin lebih cenderung hanya menggelorakan kesadaran berbangsa dalam artian “yang umum” dari pada memperjuangkan pemberlakukan syariat secara legal-formal. Kenyataan itu juga terbukti tiadanya respon tertulis maupun terorganisir secara rapi.
Sementara dalam mencermati kondisi perkembangan dunia yang pesat ini, Islam diposisikan sebagai semacam “pos pertahanan” an sich sekedar untuk mempertahankan identitasnya dari pengaruh non-Islam ataupun yang bersifat sekuler. Sikap yang demikian sebenarnya malah menunjukkan watak ke-statis-an hukum Islam sendiri. Hukum Islam hanya berperan negatif dalam kehidupan hukum di negeri kita ini. Karena sebagai penahan laju proses sekularisasi kehidupan yang berlangsung semakin merata, hukum Islam tak dapat berperan banyak, dibatasi dan diikat oleh sifat bertahannya. Apalagi peran itu sebagian besar bercorak represif, melarang ini dan menentang itu, alih-alih memberikan solusi. Dengan kata lain hukum Islam barulah berkarya ketika menolak kemungkaran, kebatilan dan kemaksiatan.
Jadi corak pemikiran hukum Islam yang ditawarkan para pejuang syariat masih bersifat apologetis, yang menggambarkan tatanan ideal mencapai kebahagiaan kehidupan duniawi dan ukhrawi—yang merupakan bentuk kota Tuhan (civitas Dei)—yang masih jauh dari jangkauan masa kini. Padahal kondisi riil membutuhkan pemecahan yang segera.
Akibat lain, impelementasi syariat juga akan berdampak pada maraknya pemakaian simbol-simbol agama. Itulah yang dimaksud dengan penyelesaian tuntutan syariat hanya akan dipenuhi di “permukaan saja,” tanpa menyentuh hal-hal yang prinsipil. Bahkan dalam bidang politik, dengan agama sebagai dasar politik akan mengkooptasi kebebasan pemikiran dan kebudayaan. Agama akan melakukan pemasungan dan penggelapan terhadap tradisi kebebasan berpikir (ijtihad). Dan itu berarti bertentangan dengan seruan agama sendiri. Bahkan kadang yang terjadi pendekatan militeristik tidak segan-segan diterapkan—dengan tetap mengatasnamakan agama—sebagai jalan terbaik untuk membatasi elaborasi pemikiran. Maka tak heran bila Muhammad Abduh pernah mengatakan audzu billahi minas syaithani wa al-siyasah (“aku berlindung dari setan dan politik”). Karena politisasi agama cenderung bersifat destruktif dan membuyarkan tatanan pemikiran (Afkar, edisi 10/2001).
Dengan demikian, keinginan mengaplikasikan syariat Islam secara legal-formal ataupun konstitusional baik di era otonomi daerah atau tidak—juga pernah dikatakan oleh Eickelman dan Piscatori (1996:5)—akan melahirkan dampak negatif. Eickelman pernah mensinyalir bahwa dampak tersebut di antaranya adalah terjadinya perebutan penafsiran terhadap simbol-simbol. Padahal sebagian besar ajaran Islam adalah simbol-simbol. Dan simbol-simbol keagamaan akan menjadi komoditas kampanye politik yang paling efektif. Konsekwesi lainnya akan ada upaya-upaya penguasaan terhadap lembaga-lembaga yang melahirkan dan mempertahankan syariat baik formal maupun informal. Pertarungan antar “ulama” baik yang berada dalam jalur struktural maupun di jalur kultural untuk mendefinisikan Islam tidak bisa dihindari lagi. Selain itu juga, aspek penyeragaman melalui institusi negara tidak akan terelakkan, dan itu berarti akan mematikan kreativitas intelektual dalam belantika pemikiran keagamaan.
Sementara dilihat dari problem praktisnya, bangsa ini terutama umat Islam belum merasa siap untuk menerima implementasi syariatnya sendiri. Bahkan bila dicermati lebih mendalam, semenjak dahulu hingga sekarang, yang paling gencar menolak usulan implementasi syariat juga berasal dari kalangan Islam sendiri. Hal seperti ini perlu dipahami, bahwa timbulnya reaksi penolakan ini mempunyai akar historis yang panjang. Oleh karena itu pribumisasi dan sosialisasi syariat Islam sebenarnya harus dijadikan prioritas utama bagi para pejuang implementasi syariat. Jalan ini merupakan jalan yang terbaik dan elegan sebelum syariat benar-benar diaplikasikan, dibanding kita ngotot memaksakan pemberlakuan syariat sementara pemeluknya sendiri belum siap.
Jadi, keinginan untuk memberlakukan syariat diperlukan strategi perjuangan yang arif, bertahap dan teratur. Sehingga akan melahirkan kondisi bangunan sosio-politik Islam yang kuat dan kokoh. Dengan demikian, ketika syariat diberlakukan segala komponen masyarakat telah siap menerima dan menjalankannya.
Wallahu a’lamu bis shawab.