Jumat, Juni 22, 2007

Mempertanyakan Sejarah Kebesaran Islam (???)

Buku yang dibedah:
Judul Buku: Negara Madinah; Politik Penaklukan Masyarakat Suku Arab
Penulis : Khalil Abdul Karim
Penerbit: LKiS Yogyakarta
Edisi : Cet ke-1, Februari 2005
Tebal : xvii + 431 hal

"…selanjutnya saya meminta kalian untuk masuk Islam, jika tidak mau membayat jizyah, atau aku perangi"

Itulah kutipan Surat Nabi Muhammad Saw ketika beliau berkehendak memperluas pengaruh ajaran Islam ke seantero dunia. Surat tersebut diabadikan dalam kitab-kitab Hadis terkemuka, semisal Sahih Bukhari dan Muslim dan kitab-kitab Hadis lainnya.
Perjalanan kebesaran dan kejayaan periode awal Islam sangat membanggakan. Bahkan, kebesaran tersebut senantiasa menjadi ajang nostalgia bagi sebagian umat Islam kini untuk kembali ke masa lalu. Euphoria "kembali kepada Islam" adalah berarti kembali kepada keadaan sebagaimana kejayaan masa lalu.
Buku yang berjudul asli, "Daulah Madinah: Basyair fi 'Am Al-Wufud," yang mengkritisi dokumen-dokumen sejarah kebesaran Islam merupakan buku yang sangat menarik untuk mengetahui lebih mendalam dengan perspektif yang berbeda.
Khalil Abdul Karim mengatakan bahwa tunduknya kabilah-kabilah Arab kepada Negara Madinah bukan karena Islam sebagai agama, tapi karena Quraisy-nya sebagai suku yang menghegemoni semenjak lama. Dengan mencermati periwayatan hadis tentang masuknya Islam para kabilah di Semenanjung Arab tersebut, penulis menyatakan kesimpulan seperti itu. "Teror" dijadikan media politik oleh Nabi Muhammad Saw, sehingga para kabilah menjadi merasa terancam keberadaannya.
Jika dibedakan, bahwa orang-orang yang masuk Islam karena agama itu terjadi pada periode Makkah, karena mereka betul-betul melihat dengan hati yang suci terhadap Islam sebagai sebuah kebanaran. Namun, pengikutnya tidaklah seberapa. Sehingga Nabi Muhammad Saw tampaknya memerlukan kekuatan politik, yakni kebesaran Suku Quraisy. Maka, pasca hijrah ke Yatsrib—yang kemudian dirubah menjadi Madinah—wibawa suku dipergunakan. Dan luar biasa, media politik ini berhasil membawa Islam makin besar dan daerah kekuasaannya makin luas. Inilah yang disebut, bahwa agama memerlukan media kekuasaan untuk menjadi besar.
Jika dibandingkan dengan dakwah ala Nabi Isa as, bahwa Isa menyebarkan "Islam"-nya tidak dengan kekuasaan, sehingga para pengikutnyapun tidaklah seberapa. Pengikut setianya pun hanya 11 orang.
***
Buku ini tiada maksud mengobrak-abrik sejarah yang sudah mapan. Namun, teori sejarah menyatakan bahwa Sejarah dibuat oleh siapa yang berkuasa saat itu. Buku ini menampilkan sisi kelam sejarah Islam.
***
Ungkapan-ungkapan kaget para mahasiswa SAS V STAIN Samarinda tampak kentara sekali, dalam kegiatan bedah buku kelas Rabu, 13 Juni 2007. Yang menjadi pembedah saat itu adalah Dedi Irawan dan Arika Karim. Perhaitkan komentarnya, "mungkin ini sebuah kebenaran, bisa juga bukan kebenaran," ungkapannya. Menurutnya, sejarah saat ini banyak menyembunyikan hal-hal kelamnya, dan kita baru mengetahui setelah banyak membaca buku sejarah dengan perspektif lainnya. "Adayang tidak tidak transparan dalam kitab-kitab hadis," kritiknya. Sementara Dedi Irawan mempertanyakan, "Menagapa Quran turun di Bangsa Quraisy dan dengan bahasa Quraisy?" Hal yang sama juga diungkapkan peserta diskusi bahwa Islam turun di lingkungan bangsa Arab (c,q, Quraisy) buykanlah hal kesalahan. Makanya Desman Minang mempertanayakan, "Apa Kelebihan bangsa Quraisy ini??" Ini adalah sebaaian dinamikan yang terjadi dalam diskusi tersebut. Anda akan lebih banyak bertanya lagi setelah membaca buku tersebut dengan tuntas..
Wallahu a'lamu bis shawab..

Kamis, Juni 14, 2007

Berjuang Melalui Jalur Politik, Banyak Gagalnya

Barangkali itulah kesimpulan dari hasil bedah buku tulisan Oliver Roy, Gagalnya Islam Politik, (Bandung: Mizan, 2003), yang panelnya adalah Sugianto dan Khairul Anam, di ruang Kuliah S STAIN Samarinda, 6 Juni 2007. Bedah buku ini cukup asyik dan menarik. Sengaja, pengampu mata kuliah Fiqh Siyasah, Anis Masykhur, MA mengalokasikan salah satu jam kuliahnya untuk bedah buku ini, agar mahasiswa tidak hanya mampu membaca karya orang lain, tapi juga mampu mengkritisi karya orang lain. Diskusi berlangsung menarik, karena sudah diawali dari perbedaan sudut pandang para panelisnya. Bagi Anam, yang sangat mengidolakan Abu A'la Al-Maududi dan Yusuf Qordhowi dalam menyampaikan pandangan politiknya, bahwa Kegagalan Islam Politik ini perlu didefinisikan. Tampaknya oliver Roy lebih mengukur kesuksesan politik adalah sejauh mana ia mendapatkan kekuasaan.
"Padahal Ihwanul Muslimun itu sukses dalam mengembangkan sayapnya, meskipun gagal dalam mendapatkan kekuasaan. Kita bisa melihat, gerakan ini sudah menyebar ke seuluruh belantara dunia, ada yang menggunakan nama IM ada pula dengan Hizbut Tahrir." tutur Anam.
Lain Anam, lain Sugianto. Baginya berpolitik adalah kekuasaan. Namun selain itu, amatan Oliver Roy tidak berhenti sampai di situ saja. Sebab, kesuksesan yang lain yang patut dicermati adalah kesuksesan politik Iran di bawah pimpinan ayatullah Khomeini. "Oliver Roy mengidolakan Ayatullah Khomeini," tuturnya dengan khas jawanya. Kesuksesan yang dimaksud adalah adanya gerakan perubahan, terutama perubahan sosial.
Selanjutnya, di akhir pertemuannya, Anis Masykhur menguatkan bahwa, Oliver Roy memang orientalis berkebangsaan Perancis. Namun, kita sebagai ilmuwan harus bisa menempatkan. Karena siapa tahu ada "emas" yang dikeluarkan dari pantat ayam. Kita bisa menyeleksi hal itu. Lalu berhubungan dengan pendapat Oliver Roy dalam buku tersebut adalah, bahwa yang dimaksud dengan kegagalan itu memang kegagalan mendapatkan kekuasaan. Kalaupun mendapatkannya, Islam Politik tidak mampu memberikan perubahan bagi rakyatnya. Perhatikan Pakistan dengan kemiskinannya.
"Seharusnya, karena misi Islam adalah mensejahterakan rakyatnya, mencerdaskannya dan lain sebagainya, ketika Islam Politik berhasil mendapatkan kekuasaannya, kebaikan-kebaikan itu harus bisa didapatnya." tutur Anis dengan gaya khasnya.
Membaca buku ini menarik, makin meningkatkan daya kritis kita. Silahkan, jika anda tertarik. Wallahu 'alamu bis shawab.