Kamis, Februari 14, 2008

Mengevaluasi Gerakan Politik NU

(Menyambut Konferwil VII PWNU Kaltim)

Tulisan ini dimuat di Harian Kaltim Post Tanggal 22 s.d. 23 Januari 2008.

Konstalasi politik Nahdhatul Ulama—yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan NU, salah satu ormas terbesar di Indonesia yang satu ini memang tidak habis-habisnya menyedot banyak perhatian. Di awal-awal era reformasi (1998), NU dengan jurus "zig-zag"-nya yang dikomandoi oleh Gus Dur—sapaan akrab KH Abdurrahman Wahid—seolah lepas dari Khittah 1926, meskipun menurut sebagian orang NU memang benar-benar meninggalkan Khittah-nya.
Memang, dalam sejarah asal mula dibentuknya, tidak ada niatan untuk menjadikan aktivitas NU dalam ranah politik. NU berdiri sebagai kekuatan penyeimbang untuk membela dan mempertahankan tata cara ibadah keagamaan masyarakat tradisional-lokal, seperti ziarah kubur, haul, kepercayaan terhadap para wali, dan lain sebagainya. Saat itu, konstalasi perpolitikan dunia sedang mengancam umat Islam, tak terkecuali kalangan muslim tradisional. Dua peristiwa besar terjadi yakni dihapuskannya sistem kekhalifahan dan dikuasainya tanah haram oleh kaum Wahabi Puritan. Kaum Wahabi sendiri adalah sebuah kelompok umat Islam yang menginginkan kembali kepada pemahaman Al-Quran dan Sunnah secara murni. Gerakan ini dikenal pula dengan gerakan Wahabiah yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1787 M), pemegang teguh mazhab Hanabilah. Gerakan ini mengambil posisi yang ekstrem, yakni menginginkan pemberantasan tradisi-tradisi yang biasa dilakukan oleh bangsa Arab saat itu, yang dipandang meracuni kemurnian tauhid, seperti pemujaan yang berlebihan terhadap para tokoh tarekat, ziarah pada kuburan para wali dan lain sebagainya. Karena itu semua disinyalir menjadi biang kemunduran umat Islam di dunia. Di Indonesia, tradisi seperti itu nota bene dilakukan pula oleh "Kaum Tua" yang kemudian mendirikan NU. Gerakan Wahabiah sendiri melakukan "perkawinan" politik dengan Dinasti Saudiyah, yang saat itu dipegang oleh Muhammad Ibnu Sa'ud. Maka dari itu, gerakannya bercampur baur dengan kepentingan politik.
Selain itu, di tingkat lokal, perseteruan ide dan pemikiran antara golongan muda--yang menyatakan sebagai kaum "reformis" yang tergabung dengan Muhammadiyah—dengan kaum Tua makin meruncing, terutama terkait dengan pelaksanaan ibadah.
Lalu, melihat tuntutan zaman dan euforia politik saat itu, NU seolah tak berkutik untuk tidak berkecimpung dalam berpolitik. Kurun waktu 1952 s.d. 1971 merupakan masa aktif-aktifnya NU berpolitik, karena NU secara terang-terangan menampilkan diri sebagai sebuah nama partai politik. Semua itu dilakukan dalam rangka mencapai tujuannya di bidang agama, sosial dan ekonomi. Periode ini dipandang sebagai periode yang sangat mencolok keterlibatan NU dalam percaturan nasional.
Lalu, ketika NU ber(di)fusi ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP) bersama-sama dengan Partai-partai Islam lainnya, NU masih aktif berpolitik dan berusaha mendongkrak suara partai Islam dengan tetap mengikuti Pemilu yakni pada tahun 1977. PPP sendiri dibentuk pada tahun 1975. Sejak tahun itu pula, NU berusaha dominan dalam partai tersebut dan berusaha aktif memberi warna dalam penentuan kebijakan politik pemerintah. Namun karena dari hasil perolehan suara dalam pemilu, proporsi bagi-bagi kekuasaan tidak sesuai, NU lalu kecewa dan kemudian merancang keluar dari PPP. Secara konkret keluarnya NU dari PPP ketika NU menyatakan diri kembali ke Khittah 1926 pada acara Muktamar NU 1984 di Krapyak, Jogjakarta.
Berbagai "keunikan" NU ini telah menarik berbagai kalangan ilmuwan untuk menelitinya. Penelitian yang serius dimulai semenjak tahun 1971 yang diawali oleh Kenward, lalu oleh Mitsuo Nakamura (1981), Sidney Jones (1984), Martin Van Bruinessen (1994) dan terakhir Greg Fealy. Namun penelitian-penelitian mereka lebih banyak mencermati sepak terjang kalangan elit NU sendiri, bukan massa akar rumput.
Ketika awal era pemerintahan orde baru, NU kemudian difusikan ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Di dalamnya, NU tetap berjuang melalui partai politik. Namun, karena merasa selalu dikecewakan karena tidak diberi peran dalam pemerintahan dan makin menyadari kelalaiannya dalam aktivitas sosial keagamaan dan pemberdayaan masyarakat, akhirnya NU menyatakan keluar dari partai tersebut dan menyatakan kembali ke Khittah 1926, yakni mengembalikan NU sebagai jam'iyyah. Kiprah sebagai jam'iyyah itu adalah apa yang kita kenal sekarang ini dengan istilah penguatan masyarakat sipil (civil society). Hasilnya bisa dicermati saat ini. Anak-anak muda NU begitu mewarnai dalam belantika wacana pemikiran keagamaan di Nusantara. Mereka juga aktif dalam advokasi masyarakat yang miskin dan tertindas (mustadh’afin).

NU Kultural dan Struktural
Dalam perkembangan terakhir, terutama semenjak Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU) membidani berdirinya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), setidaknya ada dua pemilahan dalam tubuh NU itu sendiri, yaitu NU struktural atau 'politik' dan NU Kultural. NU Struktural berkeinginan memperjuangkan nasib warganya melalui jalur kekuasaan (politik), karena sejak lama NU senantiasa (di)kecewa(kan). Sedangkan NU kultural senantiasa concern terhadap penguatan masyarakat sebagai komunitas civil society. Dalam sejarah, peran keduanya juga mengalami pasang surut. Kadang NU 'politik' yang lebih dominan, yang dipraktekkan semenjak persiapan kemerdekaan hingga tahun 1970-an. Dan ketika negara menghegemoni, NU kembali kepada khittahnya sebagai jam'iyyah—atau disebut juga dengan perjuangan kultural, yang berusaha menguatkan masyarakat sebagai komunitas civil society.
Namun demikian pasca pembentukan PKB, meskipun secara struktural tidak ada hubungan, dengan tegas para pembentuk menyatakan bahwa hubungan dengan PKB bersifat historis, kultural, emosi dan aspiratif. Perubahan iklim di tubuh NU ini tentu membawa konsekuensi baru. Persinggungannya dengan dunia politik NU senantiasa menyibukkan diri dalam proses politik tingkat tinggi.
Hingga kini, setidaknya sudah dua pemilu dilalui oleh NU politik di era reformasi. Dan ternyata jumlah konstituennya mengalami penurunan. Yang menarik lagi, selama ini tradisi NU dikenal kental dengan tradisi patriarkhal dan kental dengan tradisi feodal-nya. Sehingga, ada pemahaman bahwa jikalau ada sebuah instruksi atau kebijakan yang telah diambil di pengurus pusat (PBNU) secara otomatis akan diikuti oleh jamaahnya. Namun, yang cukup aneh adalah hasil pemilu 2004. Sungguh di luar dugaan. PKB yang nota bene di cap sebagai partai yang lahir dari NU, nyaris terjungkal dari kiprahnya dengan perolehan suara yang pas-pasan. Padahal selama ini, NU sering mengklaim mempunyai jamaah lebih dari 40 juta orang yang tersebar di seluruh wilayah nusantara. PKB hanya mendapatkan 43 kursi, lebih kecil dibanding pada pemilu 1999. Beberapa kantong wilayah NU jumlah pemilih PKB makin menurun.
Begitu juga pada pilkada, tidak banyak calon pemimpin daerah yang dijagokannya yang sukses mendulang suara.
Di Provinsi Kalimantan Timur sendiri, perolehan suara PKB berada di posisi nomor 7 (tujuh) dengan perolehan suara sekitar 3,59%, di bawah urutan Partai Amanat Nasional (PAN) yang merupakan partainya orang Muhammadiyah. Tapi, mungkin saja suara wong NU banyak yang disalurkan kepada PPP karena ia mendapatkan urutan nomor 4 (empat) dengan perolehan suara sekitar 8,02%. Jelas realita arah politik nahdliyyin berbeda dengan harapan para penggagas pendirian partai politik berbasis massa NU.
Suara-suara massa akar rumput perlu menjadi perhatian, sehingga persepsi masyarakat terhadap NU dan partai politik yang menjadi afiliasinya bisa tampak dengan jelas. Karena selama ini tampak dengan jelas adanya kesenjangan antara aksi politik elit NU (das sein) dengan harapan massa akar rumput NU (das solen) itu sendiri.
Mencermati hal di atas, banyak pertanyaan yang harus segera dijawab dalam Konferwil PWNU Kaltim ini; ada apa dengan NU "politik"? Apa yang telah mereka dedikasikan untuk warga NU? Apakah ini berpengaruh terhadap warga NU Kaltim tidak memilih tokoh-tokoh partai atau tokoh dari kalangannya? Padahal, warga kaltim yang sebagian besar merupakan migran dari Jawa Timur dan Banjarmasin, sebagian besar membawa tradisi-tradisi NU.
Pertanyaan sebagaimana di atas patut dicermati dan menjadi bahan evaluasi untuk memaksimalkan peran dan fungsi NU sebagai jam’iyyah. Hemati penulis, pemeranan sebagai jam’iyyah harus diprioritaskan, mengingat warga NU banyak berada di daerah pedesaan dengan keadaan yang memprihatinkan (miskin), dengan mata pencaharian pertanian dan pedagang kecil. Sedangkan dalam politik, NU perlu posisi yang netral. Ada beberapa alasan yang patut dikemukakan di dalam tulisan ini:
Pertama, secara ideologi, sesuai dengan Khittah 1926, NU bukan organisasi politik. Jadi, bukan wewenang NU untuk masuk dalam kegiatan dukung-mendukung sebab kegiatan dukung-mendukung merupakan tugas partai politik.
Kedua, secara praktis amat sulit bagi NU jika sekarang harus menentukan pilihan. Pasalnya, menjalan Pilkada ada beberapa kader NU yang tampil sebagai calon gubernur/bupati atau wakilnya. Mereka yang tampil memang atas nama pribadi. Namun, jika ditelusuri, mereka merupakan anak-anak NU. Sebagai orangtua, NU harus bersikap adil terhadap mereka semua
Ketiga, sikap netral ini merupakan bagian dari strategi jangka panjang NU. Karena perjuangan NU adalah perjuangan politik kemaslahatan dan bukan politik praktis. Wujud politik kemaslahatan ini adalah dengan selalu berusaha menegakkan pemimpin yang adil
Konferensi Wilayah yang diselenggarakan sejak 21 – 23 Januari 2008 harus didesain dan dirumuskan untuk kemanfaatan urang NU. Fungsi NU sebagai jam’iyyah harus diperkuat, sehingga massa NU tidak hanya ”dimanfaatkan” menjelang Pilkada saja. Pengalaman-pengalaman politik selama ini harus dijadikan pelajaran, agar NU tidak kembali terjebak ke dalam politik praktis yang merugikan. Jadi Konferwil merupakan momentum yang tepat untuk evaluasi dan refleksi dalam menentukan gerakan selanjutnya yang lebih tepat dan akurat. (Habis)