Minggu, Desember 10, 2006

TUGAS KHUSUS MAHASISWA SAS LIMA STAIN SAMARINDA

Tanggal 11 Desember 2006

Tugas anda kali ini adalah bagaimana membuat "parafreshing". Parafresing ini dimaksudkan sebagai media latihan bagi anda untuk membuat makalah atau tugas lainnya agar terhindar dari tindak PLAGIASI (penjiplakan), dan tidak melanggar ketentuan hak karya intelektual (HAKI). Sudah banyak akademisi yang terjungkal dan bahkan gelarnya rontok gara-gara pelanggaran HAKI ini. Dan mereka harus rela menutupi kebohongannya dengan berbagai cara. Bisa anda bayangkan, berapa banyak mereka melakukan kebohongan dan berapa banyak dana yang dipergunakan untuk menutupi kebohongan tersebut. Sungguh Tragis!!!! Saya tidak menginginkan anda mengalami hal yang serupa, apalagi potensi ada untuk menjadi orang besar cukup tinggi.

Tugas bagi anda adalah sebagai berikut:
1. Baca bahan tentang "Sekularisme di Turki" yang diambil dari beberapa referensi (buku rujukan)
2. Semua tulisan dalam makalah anda harus terhindar dari tindak plagiasi (penjiplakan).
3. Tulisan anda memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. Makalah disusun dengan menggunakan redaksi kalimat anda sendiri. Tidak diperkenankan "satu kalimat" pun sama dengan buku rujukan.
b. Tulisan anda adalah uraian dari hasil pemahaman anda akan referensi yang anda pergunakan. Karena pemahaman, maka bisa jadi hasil tulisan anda dengan yang lainnya bisa berbeda-beda.
c. panjang halaman minimal 3 hal dengan 1 spasi.

Contoh:
Teks yang ada pada buku:

"...Umat Islam sepakat bahwa tawhid merupakan konsep inti iman, tradisi dan praktek dalam Islam. Dengan pengungkapan yang bervariasi, jika didefinisikan secara sederhana, tawhid berarti keyakinan dan kesaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah. Konsekuensinya, di dalam intisari pengalaman keagamaan Islam, hadirlah Tuhan YME yang dengan kehendak-Nya memberikan aturan dan petunjuk bagi kehidupan seluruh manusia. Dalam kerangka ini, kedaulatan mutlak Tuhan tidak memungkinkan adanya hierarki manusia, sebab di hadapan Tuhan semua manusia adalah berkedudukan sederajat. Dengan demikian, tawhid memberikan landasan konseptual dan teologis bagi tuntutan terhadap kesamaan derajat dalam sistem politik. Sistem yang bersifat hierarkis dan diktator dalam sejarah dinilai sebagai sistem yang tidak islami. Sejak zaman Mu`awiyah, label raja (malik) merupakan istilah negatif yang menggambarkan dominasi politik yang sewenang-wenang. Seorang diktator atau raja yang menyatakan dirinya memegang kekuasaan bukanlah seorang pemimpin yang sah..." (dikutip dari tulisan Al-Fitri, Jurnal Millah, UII, Vol III. No. 1 Agustuts 2003

Hasil Parafreshing (yang harus ditulis di makalah anda):

"Pemahaman yang benar akan konsep tawhid akan mampu menghilangkan status perbedaan kelas dalam struktur politik kenegaraan. Jikalau kedaulatan Tuhan yang diyakini dalam sebuah sistem politik, sebenarnya Khalifah (kepala negara) harus dipahami sebagai manusia yang sederajat dengan rakyat. Namun yang terjadi adalah, kepala negara memposisikan sebagai the man can do no wrong (manusia tanpa pernah salah)karena dia adalah wakil Tuhan di dunia. (lihat dan baca lebih jelas Al-Fitri, 2003).

Senin, November 06, 2006

Siapa Anis Masykhur itu?

Namanya ANIS MASYKHUR, biasa dipanggil Anis. Memang, orang mengira dia berjenis kelamin perempuan. Padahal dia berjenis kelamin laki-laki. Dia lahir di sebuah kampung di kaki gunung Sumbing, tepatnya di Temanggung, 26 Juli 1977. Semenjak kecil, dengan lingkungan belajar di Pesantren Al-Ishlah Salafiyah, dia juga menempuh pendidikan formal di MI MIFTAHUL FALAH Gondosuli Th. 1989, selesai di MTsN Parakan Th.1992, di MAN PK (Program Khusus) Surakarta Tahun 1995, di Fakultas Syariah (Hukum Islam) Jurusan Al-Akhwal Al-Syahshiah IAIN Syarif Hidayatullah Tahun 2000 dengan yudicium cum laude. dan di Program Pascasarjana Syariah, Konsentrasi Fiqh Al-Siyasah (Ilmu Politik Islam) IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta selesai pada Tahun 2004.Selama menempuh pendidikan S-1 nya, dia pernah ngaji sebentar di P.P. Darus Sunnah Ciputat, tahun 1999, pondok pesantren ilmu hadis, dan juga di Lembaga Bahasa dan Ilmu Al-Quran (LBIQ) Jakarta.
Proses panjang pendidikan tersebut telah menjadi bekal baginya untuk mengartikulasikan gagasannya dalam beberapa artikel ataupun opini di berbagai media. Di bawah ini adalah data-data artikel yang terdokumentasikan. Dan ada beberapa yang tidak terdokumentasikan.

I. Bidang Agama
1. Hijrah, Tonggak Peradaban dimuat di Pelita ; 08 Mei 1998
2. Kehidupan Beragama Di Indonesia, Pelita; Jumat, 08 Agustus 1997
3. Menyimak Makna MTQ Nasional dalam Pelita, Sabtu, 19 Juli 1997
4. Fiqh Zakat, Untuk Pengentasan Kemiskian, dalam Majalah Akrab, Depag DKI edisi Bulan November 1997
5. Kerukunan Umat Beragama,atas nama Dara Yusilawati Akrab, November 1997
6. Haji; Egalitarianisme dan Universalisme, Akrab, April 1998
7. Haji, Ibadah Anti Struktur, Pelita, Sabtu, 03 April 1999
8. Haji, Simbol Egalitarianisme dan Universalisme, Majalah Akrab, Edisi Bulan April 1998
9. Dari Ketapang Sampai Kupang, dalam Pelita; 08 Oktober 1998
10. Hikmah Di Balik Isra’ Mi’raj: Membentuk Manusia seutuhnya, Majalah Akrab No.197/IX/November/1999
11. Haji: Ibadah Komunitas dan Ibadah Liminalitas, Akrab, No. 200/XVI/Februari/2000
12. Simbul Egalitarianisme Ibadah Haji, atas nama Dara Yusilawati, Pelita, 1998
13. Hijrah dan Rekonsiliasi Nasional, Pelita, 10 April 2000
14. Agama dan Harmonitas Sosial, Pelita, Sabtu 24 Juni 2000
15. Isra’ Mi’raj: Membangun Dimensi Kontrol dan Optimisme, Pelita, Jumat, 27 September 2000
16. Anak Berprestasi Langkah Antisipasi Terhadap Sekularisasi, Pelita, Kamis, 2 November 2000
17. Hijrah, Tonggak Lahirnya Peradaban, Akrab, Maret 2001
18. Pribumisasi Syariat sebagai Jalan Tengah, Media Indonesia, 21 September 2001.
19. Mudik, Kembali KE Fitrah, Akrab, Desember 2000
20. Ramadhan; Momentum Reformasi, Tribun Kaltim, Selasa 19 Oktober 2004

II. Bidang Hukum
21. Santet, Perspektif Islam dan Hukum Pidana, Pelita, 6 November 1998
22. Membincangkan Sistem Hukum Perkawinan Nasional; Sebuah Usulan Perubahan UU No. 1 Tahun 1974, Pelita, 15 September 2000
23. Sistem Hukum Perkawinan Nasional, atas nama Tuhfatul Muhtaj, Pelita, Jumat, 29 September 2000
24. Amandemen Tentatif, Pelita, Senin 9 Oktober 2000
25. Signifikansi Perubahan UU. No. 1 Tahun 1974, AKRAB, Desember 2000

III. Bidang Politik
26. Arus Bawah dan Konstelasi Politik Kita, Pelita, Selasa, 12 Agustus 1997
27. NU, Masa Lalu dan Sekarang, dalam Pelita, Senin, 24 November 1997
28. Memberantas Budaya Korupsi dan Kolusi,atas nama A. Tholabi Pelita, Jumat, 5 Desember 1997
29. Mencari Sumber Krisis dalam Pelita; Sabtu,19 September 1998
30. Kesenjangan Sosial Dan Kerusuhan Massa dalam Pelita; Selasa, 06 Oktober 1998
31. Demontrasi Sama dengan Demokrasi ? dalam Pelita; Senin, 30 November 1998
32. Dari Ketapang sampai Kupang, Pelita, Selasa; 8 Desember 1998
33. NU, Kembali ke Islam Politik ? dalam DUTA; Senin, 24 Mei 1999
34. NU, Kembali ke Islam Politik, Media Pembinaan Depag JABAR
35. Tradisi “Jalan Tengah” NU, DUTA; Sabtu, 10 Juli 1999
36. Mengevaluasi Gerakan Mahasiswa, Suara Karya, Jum’at; 29 Oktober 1999 – No.8864 Th. XXIX.
37. Bughat dalam Konstelasi Politik NU, Pelita, Jumat, 6 April 2000
38. NU Menjadi Oposisi, Mungkinkah?, Pelita, Rabu, 12 April 2000
39. Antara Radikalisme Publik dan Frustasi Politik, Pelita, Rabu, 12 Juli 2000
40. Menggugat Hak Prerogatif Presiden, Pelita, Jumat, 19 Mei 2000
41. Mempertaruhkan Demokrasi, Pelita, 24 April 2001
42. Dibalik Tuduhan Sebagai Teruris, Republika, Selasa; 9 Oktober 2001.
43. Kontroversi Kompatibilitas HAM dan Agama, Jurnal HAM, Departemen Kehakiman dan HAM R.I. Edisi I/September 2002.

IV. Bidang Lingkungan
44. Saatnya Menghemat Air, Pelita, Kamis; 28 Agustus 1997
45. Kebakaran dan Asap, atas nama Dara Yusilawati, Pelita, Senin, 6 Oktober 1997
46. Dilema Kemarau Panjang, atas nama Dara Yusilawati, Pelita, Sabtu, 13 September 1997
47. Gerakan Hemat Air, atas nama Moh. Ali Fatoni, Pelita 1998
48. Krisis Air, Siapa yang Salah?, Tribun Kaltim, 6 September 2004

V. BIDANG PENDIDIKAN
49. QUO VADIS PERGURUAN TINGGI AGAMA?; Studi Analisis Problem Perguruan Tinggi Agama Islam di Indonesia, Jurnal Dinamika Ilmu, Jurusan Tarbiyah STAIN Samarinda, Juni 2005.
50. Menjadikan Kkl Sebagai Media Dakwah Dan Publikasi; Evaluasi Kritis Penyelenggaraan KKL 2004, Jurnal LENTERA, Jurusan Dakwah STAIN Samarinda, Juni 2005
51. TA'WIL; Alternatif Metodologis Pembacaan Atas Teks (Nash), Jurnal Madzahib, Jurusan Syariah STAIN Samarinda, Juni 2005.

B. RESENSI BUKU
52. “Menggugat Politik Islam” dari “Buku Politik Demi Tuhan”, dalam Kompas, Minggu, 5 September 1999
53. “Tengger: Potret Perubahan Sosial dan Politik” dari buku “Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perubahan Politik” dalam Media Ka’bah Edisi No.18 Th.I 24 September 1999
54. “Mencermati Gerakan Mahasiswa” dari buku “Mahasiswa Menggugat: Potret Gerakan Mahasiswa 1999” dalam Media Ka’bah edisi 23 Thn.I. 29 Oktober 1999.
55. “Jika Rakyat Berkuasa: Upaya Membangun Masyarakat Madani Dalam Kultur Feodal” dalam Media Ka’bah ediri 10 Thn I, 29 Juli 1999.
56. Tradisi Jalan Tengah NU, dari buku “NU vis-a-vis Negara”, Media Ka’bah No. 8/Th.I/14 Juli 1999.
57. “Kekerasan; Akankah Menjadi Budaya.” Atas nama Sufyani, dari buku Politik Kekerasan Orba, Akrab, Januari 2000
58. “Memahami Gaya Berpikir Gus Dur,” dari buku Prisma Pemikrian Gus Dur, Akrab, Juni 2000
59. “Mempertemukan Agama dan Filsafat,” dari buku Agama dan Filsafat, Pelita, Selasa 1 Agustus 2000
60. “Islam: Jalan Keluar dari Permasalahan,” dari buku ‘Islam dan Permasalahan Sosial,” Pelita, Selasa, 26 September 2000
61. Resensi: Akal versus Ayat-ayat Mutasyabihat, dari Buku Mutasyabih Al-Qur’an; Dalih Rasionalitas Al-Quran, Pelita, Selasa, 24 Oktober 2001
62. Resensi Buku: “Menggugat Wacana Subordinasi Perempuan.” Akrab, Mei 2000
63. Resensi Buku: “Menapaki Jejak Kaum Sufi” dari buku Jenjang-jenjang Sufisme, Pelita, 29 November 2000
64. Resensi Buku: “Menjelajah Dunia Sufisme,” dari buku yang sama, Akrab, Februari 2001
65. Resensi Buku: “Islam Sufistik,” Pelita: Desember 2001

C. BUKU, TERJEMAHAN, dan KONTRIBUTOR
66. Editor buku “Menguak Alam Ghaib”, (Hikmah: November, 2001)
67. Penulis buku “Doa Ajaran Ilahi; Doa-doa dalam Al-Quran dan Tafsirnya” (Hikmah; November, 2001)
68. Penulis buku “Menyingkap Tabir Kematian” (Jakarta: Mawardi Prima, Februari 2003)
69. Kontibutor 50 entri pada “Ensiklopedi Al-Quran,” (Massih dalam proses penyusunan, Yogyakarta: 2002)
70. Kontributor Entri “Biografi Intelektual Pesantren,” Jakarta: Praja, 2003
71. Penerjemah dan Penyunting buku, “Cerdas Beragama Bersama Imam Al-Nawawi” terj. dari “Al-Fatawa li Imam Al-Nawawi,” (Jakarta: Hikmah, Agustus 2002)
72. Penerjemah Buku, “Wasail li Muqawamati Al-Ghazw Al-Fikr,” (Jakarta: Hikmah, September 2002)
73. Penerjemah Buku, “Majmu’ Fatawa li Ibn Al-Taymiyah: Kitab Ilm Al-Suluk,” menjadi, Risalah Tasawuf Ibnu Taimiyah (Jakarta: Hikmah, November 2002)
74. Penerjemah Buku, “Mukâsyafât Al-Qulûb Al-Muqarrib min ‘Allâm Al-Ghuyûb, (Jakarta, Hikmah 2002)
75. Penerjemah Buku, “Jamâl Al-Mar’ah wa Jalâluha.” (Jakarta: Hikmah, 2003)
76. Penyunting (menyempurnakan) dan editor buku “Ilmu Hadis” karya H. Mundzier Suparta, MA.
77. Anggota Tim Penyusun “Buku Fiqh” untuk Jilid I s.d III untuk Madrasah Aliyah.
78. Penyusun Buku “Pedoman Pengelolaan Lembaga Pendidikan Al-Quran Al-Kabadiyah,” (Ciputat: Al-Kabadiyah, 1999)
79. Penyusun Kurikulum Pengajaran LPQ Al-Kabadiyah,” (Ciputat: Al-Kabadiyah, 1998)
80. Penulis buku, “Doa Ajaran Rasul,” (Hikmah: Jakarta 2003)
81. Penulis buku "AQIDAH AKHLAK" Kelas 1 dan 2 MA
82. Penulis buku "Fiqh Remaja" (dalam tahap penyelesaian)
83. Penulis buku "Khutbah Jumat Seri 1" (Jakarta: Hikmah, 2006)
84. Penulis buku "Khutbah Jumat Seri 2" (Jakarta: Hikmah, dalam tahap penyelesaian)
85. Penulis buku "Khutbah Jumat Seri 3" (Jakarta: Hikmah, dalam tahap penyelesaian)

D. PARTISIPASI LOMBA KARYA ILMIAH
86. Juara I Lomba Karya Tulis Ilmiah dalam SMI Fair ‘1998 IAIN Jakarta yang berjudul; Dialektika Agama Dan Negara, yang kemudian dimuat dalam Majalah Media Pembinaan Jawa Barat setelah diringkas yang berjudul: “Agama Dan Negara Pasca Orde Reformasi” Edisi Bulan April 1999
87. Juara Harapan III Lomba Karya Tulis Ilmiah yang diselenggarakan olehRektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan Judul “Peran Moral, Agama dan Kemanusiaan dalam memandu Masa Depan Bangsa Yang Demokratis” dan dipresentasikan pada tanggal 20 Agustus 1999.
88. Peserta Lomba Karya Ilmiah BAZIS DKI Jakarta 2000
89. Peserta Lomba Karya Tulis Ilmiah Ekonomi Sryariat (LKTES) UI Depok, Mei 2001

E. PENELITIAN
90. Tim Penelitian Pre-Liminary, “Sistem Pengelolaan Taman Kanak-Kanak (TK) Islam di Jakarta,” (Bogor: Al-Hidayah, 2000)
91. Pelaksana, “Pengelolaan Masjid Modern” (Bogor: Al-Hidayah, 2000)
92. Peneliti, “Aksi Kekerasan Massif di Wilayah DKI Jakarta” (Jakarta: Pusat Penelitian IAIN Jakarta, 2001)
93. Tim Peneliti, “Perilaku Permissifitas Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,” (Jakarta: Puskum-HAM, 2002)
94. Koordinator Tim Peneliti, “Perilaku Perkawinan dan Perceraian Masyarakat Lebak Banten,” (Jakarta: Ditbinbapera, 2002)
95. Tim Peneliti “Visi Keagamaan Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam implementasi Hukum Pidana Islam,” (Jakarta: Puskum-Ham 2002)
96. Tim Peneliti, “Tindak Kekerasan terhadap Perempuan dan Pengaturannya dalam Peraturan Perundang-Undangan,” (Jakarta: Puskum-HAM dan Balitbang Depkeh-HAM, 2003)
97. Tim Peneliti, “Kajian Tentang Hak Memiliki dan Berpindah Kewarganegaraan bagi Wanita yang Menikah dengan Pria Asing,” (Jakarta: Puskum-HAM dan Balitbang Depkeh-HAM, 2003)
98. Peneliti, "Pemetaan Muzakki di Kota Samarinda," STAIN Samarinda th. 2005
99. Peneliti, "“Perilaku Permissifitas Mahasiswa; Menguak Perilaku Pacaran Mahasiswa STAIN Samarinda,” (STAIN Samarinda: P3M, 2005)

MENGGUGAT POLITIK ISLAM

(Tulisan ini pernah dimuat di Harian Kompas, Minggu, 5 September 1999)

Judul Buku : Politik Demi Tuhan
Nasionalisme Religius Di Indonesia
Penulis : Abdurrahman Wahid dkk
Editor : Andito (Abu Zahra)
Pengantar : Eep Saefulloh Fatah
Cetakan : I , Juni 1999
Tebal : 436 halaman
Penerbit : Pustaka Hidayah, Bandung
Harga : 34.000,00
Pemilu 1999 telah memunculkan 48 partai, sebagai sebuah ‘ledakan partisipasi’ masyarakat. Tapi sayang, dari sekian banyak partai Islam atau berbasis massa Islam dalam pemilu tersebut tidak memperoleh suara yang signifikan. Sehingga muncul anggapan bahwa pemilu kali ini adalah simbol kekalahan umat Islam.
Hal inilah yang disorot dalam buku yang berjudul “Politik Demi Tuhan” ini, yang menggugat kembali keberadaan Politik Islam, apakah benar membawa misi suci atau politisasi?, Benarkah naiknya B.J. Habibie sebagai presiden itu merupakan representasi politik (umat) Islam ?.
Sebab menurut William Liddle, sebagaimana dikutip oleh Eep Saefullah Fatah dalam pengantarnya, hubungan dekat antara Islam dan negara di era akhir pemerintahan orde baru adalah akibat dari pergeseran kecenderungan di tingkat elit politik bukan akibat dari proses Islamisasi di tengah masyarakat secara luas. Hal senada juga dipaparkan oleh Schwarz mengenai apa yang disebut dengan kebangkitan Islam (Islamic revivalism) dalam politik Orde Baru kontemporer. Ia melihat ICMI sebagai pusat kekuasaan baru dengan B.J. Habibie sebagai gantungan politiknya, dan tidak sebagai representasi naiknya politik Islam.
Eep juga menggambarkan nasib ‘tragis' politik Islam yang selalu terjebak dalam pusaran; bergumul dengan dirinya sendiri dan menelan kekalahan pada semua pihak, lantaran tidak terkelolanya fragmentasi, disintegrasi dan lemahnya jaringan politik di antara mereka. Akibatnya, umat Islam senantiasa mengalami marginalisasi sosial, ekonomi dan politik. Berbagai kekeliruan politik itu disebut olehnya sebagai sebuah “fenomena gigantisme”; fisik besar, tapi sebenarnya penuh penyakit. Oleh karena itu, sebagai pilihan terbaik bagi masa depan politik umat Islam yang gemilang adalah sebuah arus balik.
Kekhawatiran senada juga dipaparkan oleh Mas Kunto ---panggilan akrab Kuntowijoyo--- yang selalu mewanti-wanti akan politik atas nama agama. Sebab politik itu berdimensi tunggal sementara agama berdimensi banyak. Politik hanya bagian sangat kecil dari agama, sepersekiannya. Bila pada akhirnya menjadikan agama sebagai sebuah politik, maka yang terjadi adalah sebuah reduksi besar-besaran atas makna agama. Politik akan mengakhiri sifat multi-dimensi agama. Baginya, agama yang hanya sampai di tingkat ormas (sebagaimana NU dan Muhammadiyah) tak berarti agama itu banci, mandul dan impoten. Banyak cara untuk mengekspresikan kepedulian pada bidang politik, tanpa simbol-simbol keagamaan. Agama hanya sampai ke tingkat ormas ialah untuk menjaga jangan sampai agama kena getah politik. Sebab keberadaan parpol itu hanya timbul-tenggelam, bisa jadi sekarang mayoritas besok minoritas (hal.121-125).
Bagi Cak Nur, salah satu ide yang amat kuat dalam wawasan politik modern ialah terbentuknya negara hukum (recht staat) dan mencegah tumbuhnya negara kekuasaan (macht staat). Maka dari itu, baginya posisi Islam dalam politik modern adalah bagaimana menghidupkan dan meneguhkan kembali nilai-nilai tersebut, serta nilai keislaman klasik (salaf) yang murni, dan kemudian menerjemahkannya dalam konteks ruang dan waktu yang ada (hal.81). Jiwa ajaran Islam adalah yang paling dekat dengan segi-segi positif modernitas. Oleh karena itu keberadaan partai atas nama agama bukanlah suatu modernitas, karena hanya akan lebih menyuburkan praktik simbolisme dalam kehidupan beragama.
Sedang dalam pandangan Abu Zahra, editor buku ini, politik perlu dipahami sebagai sesuatu yang berdimensi normatif—sebagaimana definisi umum agama—bukan materialistik. Politik harus dimaknai sebagai sebuah upaya manusia untuk meraih kesempurnaan dengan pengalamannya menuju maslahat, bukan dimaknai sebagai kekotoran (filthy) atau penuh intrik. Oleh karena itu berpolitik merupakan sesuatu yang inheren dengan kemanusiaan (hal.22-23). Ketika agama, politik, dan negara dipandang sebagai suatu kemanunggalan, simbolisasi agama tidak lagi menjadi sebuah keharusan. Ia menafikan sarat bahwa sebuah pemerintahan harus dipimpin orang yang ber-KTP Islam. Karena seorang non-Islam pada dasarnya bisa menjalankan pemerintahan Islam, jika ia menjalankan kekuasaan dengan landasan nilai-nilai kebenaran universal; menjalankan sistem yang transparan, adil, bijaksana, mengayomi, dan melakukan advokasi politik pada rakyat.
Buku ini memang sengaja dihadirkan di tengah campur-aduknya pendapat tentang eksistensi agama di dalam konstelasi politik Indonesia dewasa ini. Diberi judul “Politik Demi Tuhan” karena melihat arah politik Indonesia telah mulai menyentuh wilayah yang paling ‘sakral’, yakni Tuhan. Nama Tuhan telah menjadi ‘komoditas’ untuk memenuhi target politik (hal.32). Sebagai akibatnya, telah terjadi monopoli tafsir kebenaran.
Kesimpulan akhir dari buku ini --diantaranya-- adalah sebuah ide tentang “nasionalisme religius”, sebuah ide tentang pandangan peleburan perspektif keagamaan dalam kehidupan politik dan sosial. Artinya, agama harus mewarnai sistem perpolitikan, tanpa melalui simbolisasi keagamaan dalam struktur pemerintahan. Fenomena gugat-menggugat tentang Islam-tidaknya sebuah lembaga berdasarkan simbol yang disandangnya bukanlah persoalan krusial. Yang lebih urgen adalah mengkritisi dan menilai representasi keislaman lembaga (mana saja) pada substansi agenda-agenda besar yang dibawanya yaitu ‘kebenaran universal’. Sebab umat Islam lebih sering terjebak pada kekeliruan, yang lebih suka mengurusi “kulit” daripada “isi”. Seperti yang terjadi dengan labelisasi ‘halal’ di masa Orba. Kalangan umat Islam menyambut kebijakan itu dengan gempita. Jarang (bahkan hampir tidak ada) ada yang mengkritisi kebijakan itu dari konteks ekonomi politik dan transparansi-transparansi metodologis labelisasi. Hampir tidak terbaca berapa besar kolusi dan korupsi di balik ‘halalisasi’ itu.
Buku ini ditutup dengan epilog Eep Saefulloh Fatah, pengamat politik UI. Ia mengatakan bahwa Politik Islam potensial terjebak pada kekeliruan masa lalu. Kekeliruan itulah yang menjadi sebab terpenting dari kekalahan politik kalangan Islam selama ini. Oleh karena itu Ia mewanti-wanti dengan menawarkan agenda format baru politik Islam, agar tidak selalu dikecewakan akibat ‘kecerobohan’nya itu, yakni; menyokong reformasi menyeluruh, membangun publik yang aktif, dan membangun oposisi permanen.
Selamat membaca !

Minggu, November 05, 2006

TUGAS MAHASISWA SAS III DAN SMU V STAIN SAMARINDA

(tugas ini merupakan penjajakan awal tentang kemampuan analisis anda sebelum anda lebih jauh mengikuti mata kuliah ini)

Ada beberapa tulisan dalam situs www.anis-masykhur.blogspot.com ini yang mencoba mengeksplorasi pemikiran modern dan mencoba mengemukakan ide-ide pemikiran keislaman yang disesuaikan dengan konteks kemodernan.
Ada tugas bagi anda semua, baik mahasiswa Syariah Muamalah ataupun Ahwal Asy-Syahsyiah.
1. Berikan komentar singkat anda tentang tulisan-tulisan yang ada dalam situs tersebut. Terutama sekali tulisan saya tentang "Pencatatan Perkawinan" dan "Pribumisasi Syariat Islam." Komentar anda merupakan bentuk kehadiran anda. Saya akan mengabsen melalui situs ini. Komentar ini diberikan pada kolom "comment" yang berada di bawah masing-masing tulisan.
2. Anda juga diwajibkan membuat sebuah komentar yang detail dari tulisan tersebut yang terdiri dari (a) jabaran kesimpulan pemikiran (b) jabaran metode yang dipakai (c) komentar, pendapat, dan kritik anda atas pemikiran tersebut, dan (d) lain-lain
3. Tugas nomor (2), wajib anda kirimkan ke email anisku77@yahoo.com
4. Ada dua kehadiran bagi anda; pertama, kehadiran membaca dan memberikan komentar. Kedua, kehadiran mengirimkan email
5. Waktu anda sampai hari Sabtu tanggal 11 November 2006 pukul 15.00 Wita. Jika anda kurang memahami permasalahan dan persoalan, anda bisa menghubungi via email di atas, atau contact 0816.483.53.81 atau 0819.338.25.25.3
6. Sampaikan tugas ini kepada kawan-kawan anda, termasuk di kelas Ahwal Asy-Syahsyiah dan juga Muamalah. Tidak ada kata "tidak bisa!" dan "belum membaca tugas" ini. Selamat Mengerjakan!!!


By. Anis Masykhur

PRIBUMISASI SYARIAT SEBAGAI JALAN TENGAH

(Tulisan ini pernah dimuat di Harian Media Indonesia Tanggal 21 September 2001)

Ide yang bisa ditangkap dari tulisan Kharlie (Media Indonesia, 7/09/2001), adalah bahwa syariat Islam bisa diimplementasikan di negara ini berbarengan dengan program otonomi daerah. Tuntutan penerapan syariat hendaknya tidak terbatas pada Nangroe Aceh Darussalam, tapi bisa juga diterapkan di daerah-daerah di seluruh nusantara ini. Analisis Kharlie tersebut sangat lemah dilihat dari sisi teori dan kondisi empiriknya, karena sebenarnya implementasi syariat antara di era otonomi daerah maupun tidak, menghadapi kendala yang tidak jauh berbeda. Bahkan fenomena implementasi syariat ala Aceh Darussalam yang akan mendekati model pemerintahan Syiah-Iran masih banyak “digugat” di era mutakhir ini, terutama bila dikaitkan dengan kehidupan demokrasi. Selain itu, sebagai respon atas tuntutan tersebut (otonomi syariat), fenomena pengkotak-kotakkan daerah dalam bingkai keagamaan, bahkan kesukuan, dipastikan terjadi. Sebutlah misalnya Aceh adalah propinsi yang menerapkan syariat, maka Maluku akan menuntut juga sebagai propinsi orang Kristen, Bali sebagai propinsi orang Hindhu, dan (mungkin juga) Kalimantan sebagai propinsi orang Dayak, Jawa sebagai pulau khusus orang Jawa dan lain sebagainya. Ini justru lebih berbahaya bagi keutuhan bangsa ini.
Banyak kendala baik ideologis, empiris, maupun praktis, dalam penerapan syariat Islam ini, di tengah kompleksitas dan pluralitas bangsa ini. Apalagi tuntutan tersebut belum diikuti dengan penyusunan strategi dan organisasi yang rapi, serta tidak mempunyai arah yang jelas, karena tuntutan tersebut masih sekedar dalam dataran estimasi dan wacana. Harus disadari bahwa ada bahaya yang besar dalam mengartikulasikan ide tersebut bila diiringi oleh sikap ketergesa-gesaan. Karena persoalan tersebut pada akhirnya akan diselesaikan hanya di permukaan saja dan bangunan sosio-politik Islam akan mudah goyang. Hal itu akan menelan biaya kemanusiaan pada setiap individu.
Para penggagas syariat Islam agaknya juga melupakan kondisi riil (empiris) umat Islam sendiri. Meskipun syariat ini dipandang sedemikian penting dan menentukan, ternyata sebagian besar umat Islam Indonesia ini menolak pemberlakuan syariat secara menyeluruh. Tidaklah salah bila ada yang berpendapat bahwa sebagian besar syariat Islam di Indonesia saat ini merupakan proyeksi teoritis belaka, semacam sedang mengalami proses “fosilisasi” yang hampir selesai. Di sana-sini memang masih banyak didapati bekas-bekasnya, tapi dalam hampir semua manifestasi praktisnya yang masih ada, hukum Islam mengalami irelevansi secara berangsur-angsur namun pasti. Soal-soal perdata telah banyak dipengaruhi, diubah dan didesak oleh hukum perdata modern. Apalagi ketentuan-ketentuan pidananya, hampir secara keseluruhan telah diganti oleh hukum pidana modern. Masih hangat dalam benak kita, peristiwa eksekusi atas anggota lasykar jihad yang melakukan zina dihukum rajam—istilah bagi suatu hukuman yang dilempari dengan batu sampai mati—beberapa bulan yang lalu, mengakibatkan eksekutor-nya sendiri ditangkap aparat kepolisian dengan tuduhan melakukan tindak pidana. Karena aplikasi “syariat” tersebut dipandang bertentangan dengan hukum positif yang berlaku.
Apalagi hukum ketatanegaraan dan internasionalnya, hampir-hampir sudah tidak diketahui lagi di mana rimbanya. Kini, yang tersisa dari syariat Islam hanyalah persoalan ibadat yang masih mendapat tempat sepenuhnya dalam kehidupan, itupun dalam kadar dan intensitas yang semakin berkurang, dan lebih banyak bergantung kepada kemauan perorangan para pemeluk (agama) Islam yang taat.
Dalam hal demikian, laik dipertanyakan bahwa masihkah bisa dipertahankan kebenaran klaim hukum Islam sebagai penentu pandangan hidup dan tingkah laku para muslimin di nusantara ini? Apakah yang dapat dilakukan syariat jika tidak memiliki relevansi dalam kehidupan di masa modern?
***
Implementasi syariat (hukum) Islam secara penuh memang masih menjadi slogan perjuangan yang memiliki appeal cukup besar, meskipun sekedar dalam dataran angan-angan akan sistem kenegaraan Islam. Akan tetapi estimasi tersebut harus ditegakkan di masa depan, betapapun jauhnya masa depan itu sendiri berada dalam perspektif sejarah. Hanya dengan keyakinan yang membara bahwa Islam adalah sebuah sistem kemasyarakatan yang harus didirikan di Nusantara ini, tidaklah cukup. Sebab massa Islam sendiri belum banyak memahami permasalahan ini, karena terbukti hampir semua gerakan Islam tidak mampu melakukan mobilisasi kekuatan massal untuk mendukung gagasan tersebut. Malah sebagian besar kaum muslimin lebih cenderung hanya menggelorakan kesadaran berbangsa dalam artian “yang umum” dari pada memperjuangkan pemberlakukan syariat secara legal-formal. Kenyataan itu juga terbukti tiadanya respon tertulis maupun terorganisir secara rapi.
Sementara dalam mencermati kondisi perkembangan dunia yang pesat ini, Islam diposisikan sebagai semacam “pos pertahanan” an sich sekedar untuk mempertahankan identitasnya dari pengaruh non-Islam ataupun yang bersifat sekuler. Sikap yang demikian sebenarnya malah menunjukkan watak ke-statis-an hukum Islam sendiri. Hukum Islam hanya berperan negatif dalam kehidupan hukum di negeri kita ini. Karena sebagai penahan laju proses sekularisasi kehidupan yang berlangsung semakin merata, hukum Islam tak dapat berperan banyak, dibatasi dan diikat oleh sifat bertahannya. Apalagi peran itu sebagian besar bercorak represif, melarang ini dan menentang itu, alih-alih memberikan solusi. Dengan kata lain hukum Islam barulah berkarya ketika menolak kemungkaran, kebatilan dan kemaksiatan.
Jadi corak pemikiran hukum Islam yang ditawarkan para pejuang syariat masih bersifat apologetis, yang menggambarkan tatanan ideal mencapai kebahagiaan kehidupan duniawi dan ukhrawi—yang merupakan bentuk kota Tuhan (civitas Dei)—yang masih jauh dari jangkauan masa kini. Padahal kondisi riil membutuhkan pemecahan yang segera.
Akibat lain, impelementasi syariat juga akan berdampak pada maraknya pemakaian simbol-simbol agama. Itulah yang dimaksud dengan penyelesaian tuntutan syariat hanya akan dipenuhi di “permukaan saja,” tanpa menyentuh hal-hal yang prinsipil. Bahkan dalam bidang politik, dengan agama sebagai dasar politik akan mengkooptasi kebebasan pemikiran dan kebudayaan. Agama akan melakukan pemasungan dan penggelapan terhadap tradisi kebebasan berpikir (ijtihad). Dan itu berarti bertentangan dengan seruan agama sendiri. Bahkan kadang yang terjadi pendekatan militeristik tidak segan-segan diterapkan—dengan tetap mengatasnamakan agama—sebagai jalan terbaik untuk membatasi elaborasi pemikiran. Maka tak heran bila Muhammad Abduh pernah mengatakan audzu billahi minas syaithani wa al-siyasah (“aku berlindung dari setan dan politik”). Karena politisasi agama cenderung bersifat destruktif dan membuyarkan tatanan pemikiran (Afkar, edisi 10/2001).
Dengan demikian, keinginan mengaplikasikan syariat Islam secara legal-formal ataupun konstitusional baik di era otonomi daerah atau tidak—juga pernah dikatakan oleh Eickelman dan Piscatori (1996:5)—akan melahirkan dampak negatif. Eickelman pernah mensinyalir bahwa dampak tersebut di antaranya adalah terjadinya perebutan penafsiran terhadap simbol-simbol. Padahal sebagian besar ajaran Islam adalah simbol-simbol. Dan simbol-simbol keagamaan akan menjadi komoditas kampanye politik yang paling efektif. Konsekwesi lainnya akan ada upaya-upaya penguasaan terhadap lembaga-lembaga yang melahirkan dan mempertahankan syariat baik formal maupun informal. Pertarungan antar “ulama” baik yang berada dalam jalur struktural maupun di jalur kultural untuk mendefinisikan Islam tidak bisa dihindari lagi. Selain itu juga, aspek penyeragaman melalui institusi negara tidak akan terelakkan, dan itu berarti akan mematikan kreativitas intelektual dalam belantika pemikiran keagamaan.
Sementara dilihat dari problem praktisnya, bangsa ini terutama umat Islam belum merasa siap untuk menerima implementasi syariatnya sendiri. Bahkan bila dicermati lebih mendalam, semenjak dahulu hingga sekarang, yang paling gencar menolak usulan implementasi syariat juga berasal dari kalangan Islam sendiri. Hal seperti ini perlu dipahami, bahwa timbulnya reaksi penolakan ini mempunyai akar historis yang panjang. Oleh karena itu pribumisasi dan sosialisasi syariat Islam sebenarnya harus dijadikan prioritas utama bagi para pejuang implementasi syariat. Jalan ini merupakan jalan yang terbaik dan elegan sebelum syariat benar-benar diaplikasikan, dibanding kita ngotot memaksakan pemberlakuan syariat sementara pemeluknya sendiri belum siap.
Jadi, keinginan untuk memberlakukan syariat diperlukan strategi perjuangan yang arif, bertahap dan teratur. Sehingga akan melahirkan kondisi bangunan sosio-politik Islam yang kuat dan kokoh. Dengan demikian, ketika syariat diberlakukan segala komponen masyarakat telah siap menerima dan menjalankannya.
Wallahu a’lamu bis shawab.

Jumat, Oktober 06, 2006

Peduli Sosial Melalui Puasa

Puasa adalah ritual keagamaan yang penuh makna yang bernuansa humanis/kemanusiaan. Ibadah puasa kian bermakna jika dilaksanakan dengan disertai pemahaman akan hikmah di dalamnya. Bahkan orang berpuasa termasuk orang yang dirindukan Surga. Sabda Nabi Saw: Surga itu merindukan kepada empat personil; (1) orang yang gemar membaca Al-Quran (tali al-qur'an), (2) Orang yang bisa menjaga lisan (hafidz al-lisan), (3) Orang yang gemar memberi makan orang-orang yang lapar (muth'im al-ji'an), (3) orang yang berpuasa selama dalam bulan Ramadhan (shaim fi ramadhan).
Kerinduan Surga pada para penghuninya ini bukannya tidak beralasan. Empat hal di atas mengandung pendidikan kepedulian sosial yang tinggi. Hanya orang yang peduli terhadap sesamalah yang dinanti surga. Orang yang mau mengajak orang lain masuk surga bersama-sama akan mendapatkan tempat dan fasilitas khusus di dalamnya.
Orang yang gemar membaca Al-Quran adalah perumpamaan bagi orang-orang yang senantiasa melontarkan kata-kata mulia. Jika mendengar perkataannya, makin tentramlah hati kita. Karena kesucian kalam yang keluar darinya. Begitulah karakter kitab Suci Al-Quran.
Orang yang senantiasa menjaga lisan adalah perumpamaan model komunikasi sesama makhluk yang seharusnya. Jangan sampai lidah ini terpeleset mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan hati. Karena lidah ini, orang bisa mendatangkan bencana, kekacauan, fitnah dan bahkan berakhir dengan peperangan. Sakitnya akibat tajamnya lidah lebih sulit mengobatinya dibanding sakit akibat sayatan pedang. Untuk Nabi Muhammad Saw bersabda: "Seorang muslim akan selamat karena kemampuan menjaga lisannya." (HR Bukhari Muslim). Yang seperti itu sangat ditekankan untuk dijaganya saat berpuasa.
Selanjutnya adalah orang yang gemar memberikan makanan pada orang yang kelaparan. Ini adalah praktik riil bagaimana kepedulian itu ditunjukkan dengan kerelaan kita memberikan sebagian harta kita untuk meringankan beban mereka. Minimal dalam bentuk makanan jadi yang tinggal mengkonsumsinya.
Sementara orang yang berpuasa di bulan Ramadhan adalah praktik ritualnya. Dengan puasa, kita bisa merasakah bagaimana posisi dan keadaan orang-orang yang sering kehausan dan kelaparan. Dengan merasa seperti itu, diharapkan kita menjadi sensitif terhadap persoalan-persoalan yang sering dihadapi orang miskin.
Perhatian pada sesama ini sebenarnya akumulasi dari segala jenis ibadah yang diperintahkan Allah Swt. Bahkan ibadah shalat sekalipun. Dalam tertib ritual shalat, di akhirnya masih diperintahkan untuk melakukan tengok kanan dan ke kiri saat salam. Artinya, selain kita berurusan kepada Tuhan, kita tidak boleh melupakan pada orang-orang yang berada di sekeliling kita. Benar jika Allah berfirman, Sesungguhnya shalat itu dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar.
Gambaran orang yang berpuasa dirindukan Surga ini tampak dari cerita Hafs Al-Kabir yang dikutip dalam kitab Raunaq Al-Majalis, bahwa Daud Al-Tha’i suatu ketika tertidur pada awal malam bulan Ramadhan. Dia bercerita: “Aku melihat surga, dan seolah-olah aku berada di pinggir kali yang tersusun dari mutiara dan yaqut. Dan aku melihat sekeliling surga bagaikan matahari bersinar. Aku bergumam: la ila ha illallah Muhammadur rasulullah. Kemudian surga berkata: “La ilaha illallah muhammadur rasulullah. Kami ini diperuntukkan bagi orang-orang yang suka bertahmid, orang-orang berpuasa di bulan Ramadhan, lagi menunaikan ruku’, sujud di bulan Ramadhan." Begitu besar fasilitas bagi orang-orang yang berpuasa. Kini keputusan tinggal di tangan anda, maukah anda dinanti Surga? jika mau, jadilah orang yang peduli dengan sesama.

Dimuat di Harian Tribun Kaltim tanggal 3 Oktober 2006

Pencatatan adalah Rukun Nikah

LATAR BELAKANG
Islam adalah agama yang membebaskan. Membebaskan siapa? Pertanyaan ini patut dijawab mengingat pernyataan-pernyataan tersebut sering muncul namun kita tiada memahaminya. Ada dua kelompok masyarakat yang paling penting yang menjadi sasaran pembebasan.
Pertama, orang-orang mustadh’afin. Penyebutan mustadh’afin ini sangat bertendensi. Karena, orang lemah atau miskin itu bukanlah karena faktor dirinya. Namun karena sistem yang diciptakan. Ajaran Al-Quran menginginkan penghancuran sistem yang bisa menciptakan kemiskinan dan kelemahan. Namun sayangnya, tidak sedikit para pemegang otoritas tafsir sendiri telah masuk dalam sistem tersebut. Pada akhirnya, tidak aneh produk sistem yang ada masih saja tetap menindas meskipun dengan landasan agama.
Kedua, Budak dan (ketiga) perempuan. Kedua makhluk ini adalah makhluk yang superkuat. Namun karena konstruk sosial, seolah-olah tampak lemah. Tidak hanya faktor bentukan masyarakat. Bahkan secara teologis, terutama perempuan sedari awal diposisikan marginal. Hal ini dimaklumi. Namun apakah Tuhan betul-betul memposisikannya demikian rendah, sementara Tuhan adalah Maha Adil? Naluri kita tentu tidak akan menjawab "ya" untuk pertanyaan tersebut. Yang bisa kita katakan adalah karena Tuhan berbicara sesuai dengan konteksnya saat itu. Jika tidak, mungkin ajaran Tuhan tidak akan bisa besar seperti sampai saat ini. Untuk itu banyak pasal-pasal ”karet” (baca: multi interpretable) dalam firman-Nya. Termasuk dalam hal memposisikan perempuan. Begitu canggih redaksi Tuhan memposisikan posisi perempuan di tengah kondisi yang sangat tidak menghargai perempuan. Di tambah lagi dengan kekuatan gaya diplomasi yang ada pada diri Nabi Muhammad Saw.
Pada masa itulah, derajat kaum perempuan begitu berubah 1800, dari makhluk tak berharga menjadi makhluk yang mempunyai "harga." Penghargaan ini telah membuka akal kreatif dan partisipasi mereka di dalam kancah publik dan intelektual. Kita lihat bagaima keterlibatan mereka dalam dunia ilmu periwayatan hadis. Lebih dari 1.232 wanita yang terlibat di dalamnya. Bahkan, mereka juga banyak berperan dalam mensuplai amunisi ketika berperang menegakkan agama Allah di bumi ini. Namun sayangnya, sepeninggal Nabi Muhammad Saw, tradisi jahiliyah yang memarginalkan mereka kembali tumbuh, dan disokong oleh kekuasaan saat itu. Penghormatan kepada perempuan mengalami abrasi. Terlihat dalam peran keilmuwan, peran wanita turun drastis. Pada masa tabiin berkisar sekitar 150 orang, apalagi pada masa tabiut tabiin, hanya sekitar 50 orang. Ini kemudian mempunyai dampak yang sangat signifikan dalam perkembangan keilmuwan di kemudian hari. Dominasi mufassir oleh laki-laki jelas mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap produk pemikirannya. Artinya, produknyapun tidak akan jauh-jauh dari kepentingan kalangan laki-laki. Termasuk di dalam hal perkawinan yang akan menjadi bahasan dalam makalah ini. Anda bisa membaca perkataan Al-Ghazali dalam magnum opusnya, Ihya Ulumiddin, ’al-nikah min anwa’i riqbin’ yang berarti pernikahan adalah salah jenis dari perbudakan. Memang, pernyataan ini tidak bisa terlepas dari konteksnya saat itu yang masih mendominasi nalar para ulama saat itu. Namun demikian, kita tidak boleh serta merta mengikut pendapat yang demikian. Desakralisasi fiqh dengan penalaran yang logis menjadi sebuah kebutuhan.
***
Perkawinan adalah salah satu proses yang sangat sakral di dalam Ajaran Islam. Karena dengan perkawinan tersebut, manusia bisa terjaga dari kemusnahan. Agama Islam sangat memperhatikan perkawinan ini, sehingga pengaturannya begitu rigid dan komplit. Kesalahan dalam salah satu tahap/proses akan dapat merusak proses keturunan.
Banyak hikmah yang timbul dari perkawinan. Perkawinan dapat menumbuhkan naluri kebapakan dan keibuan, naluri kemanusiaannya tersalurkan, dan relasi antar manusia makin abadi karena perkawinan. Selain hikmah positif di atas, perkawinan juga tidak jarang menimbulkan kesengsaraan bagi kalangan wanita yang selalu diposisikan sebagai objek sasaran pemuasan nafsu suami dan sasaran pekerjaan domestik lainnya. Lebih ironis lagi, instrumen perlindungan terhadap hak-hak perempuan tidak begitu kuat. Meskipun sebenarnya dalam fiqh-fiqh konvensional, instrumen perlindungan tersebut dimanifestasikan dalam bentuk "perwalian."
Tradisi patriarkhi masyarakat memposisikan perempuan sebagai the second class, yang jelas mempunyai implikasi cukup signifikan dalam pemberian peran terhadapnya.
Di zaman modern ini, bersamaan dengan tuntutan untuk menjadi negara demokrasi yang di dalamnya adanya instrumen perlindungan terhadap HAM, maka dalam perkawinan posisi perempuan harus diberikan perlindungan yang maksimal.
Dalam tulisan ini akan dicoba diulas tentang upaya menjadikan "pencatatan perkawinan" menjadi salah satu rukun dalam pernikahan dengan berbagai argumentasinya.

KONSEP PERWALIAN DAN MENGUMUMKAN PERKAWINAN
Pada dasarnya, konsep perwalian muncul di dalam konteks perempuan yang berada di posisi yang sangat lemah di tengah masyarakat.
Kata wali seakar dengan kara al-wilayah yang menurut syara’ artinya melaksanakan wewenang orang lain dan mengurusi urusan-urusannya. Sementara sebagian para ulama lainnya mendefinisikannya dengan “melaksanakan wewenang orang lain, baik orang lain itu suka atau tidak”.
Perwalian menjadi wajib adanya pada saat melangsungkan perkawinan karena dengan wali—minimal—si perempuan mempunyai badan pertimbangan atas pilihannya sehingga dia tidak salah pilih. Karena pernikahannya menyangkut keselamatannya di dalam mengarungi kehidupan beberapa tahun ke depannya. Jika salah pilih, bisa jadi nasibnya akan hancur bahkan bisa mendatangkan kematian. Selain itu, konteks lain kemunculan perwalian mengingat perempuan jarang keluar rumah, sehingga dikhawatirkan akan salah pilih. Untuk itu diperlukan pertimbangan wali. Dengan demikian, pasangannya diharapkan tepat.
Dasar Hukum wajibnya wali dalam perkawinan itu sendiri firman Allah dalam QS Al-Nur: 32, QS Al-Baqarah: 222." …dan janganlah kalian menikahkan orang-oreang musyrik (dengan wanita muslim) sampai mereka beriman…"
Hithab (tujuan) dari ayat di atas adalah orang laki-laki yang mempunyai kuasa terhadap perempuan, dan tidak di-hithabkan pada perempuan itu sendiri.
Selain itu adalah hadis Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Al-Tirmidzi dari Aisyah:
Siapapun perempuan yang menikah tanpa izin dari walinya maka nikahnya itu bathil (rusak, tidak sah), nikahnya bathil, nikahnya bathil. Jika kemudian telah terjadi hubungan badan, maka bagi perempuan tersebut ma kawin (mahar) karena diharapkan kehalalan kelaminnya. Jika terjadi perselisihan, maka sultan (hakim)lah yang berhak menjadi wali bagi orang yang tidak ada wali baginya.
Hadis ini banyak diriwayatkan dengan kandungan yang sama meskipun redaksinya berbeda-beda.
Karena pentingnya perlindungan ini hingga mazhab Syafii saja sangat ketat dalam menerapkan persyaratan wali. Salah satunya adalah wali kerabat dekat (qarib). Jika tidak ada wali dari kerabat dekat, Imam Syafii berpendapat baru boleh dengan wali kerabat jauh (ba'id).
Begitu juga dengan mengumumkan kepada publik tentang perkawinan. Sebenarnya hal ini dimaksudkan untuk memberikan penilaian tentang pasangannya. Sehingga baik buruknya pasangan tersebut bisa dideteksi lebih dini dan akurat.

PENCATATAN SEBAGAI RUKUN PERKAWINAN, MENGAPA TIDAK?
Di zaman modern ini, perangkat untuk lebih melindungi perempuan diformalkan dalam bentuk Undang-undang. Salah satunya yang menjadi kewajiban dalam perkawinan adalah adanya pencatatan perkawinan. Meskipun pada awalnya, pencatatan ini difungsikan untuk kepentingan administrasi negara, namun ternyata ketika terjadi persengketaan perkawinan, pencatatan ini memegang peranan sangat penting. Hal yang terdekat pasca perkawinan adalah bahwa perempuan bisa meminta haknya yakni harta gono gini-nya, bisa meminta hak asuh terhadap anaknya, bahkan bisa meminta biaya hidupnya selama masa iddah dan belum mendapatkan suami barunya.
Di lihat dari hal-hal di atas, pencatatan perkawinan tampak sekali lebih memberikan perlindungan terhadap perempuan. Ini berarti, memenuhi prinsip keadilan dan sekaligus menjaga kehormatan sebagai umat manusia.
Dalam konteks dunia internasional, jelas hal itu di dukung oleh hukum internasional karena bersamaan dengan itu adanya kepentingan memberikan perlindungan terhadap perempuan.
Jika peran pencatatan perkawinan lebih kuat dari posisi wali, mengapa tidak pencatatan masuk menjadi rukun perkawinan, bahkan jika mungkin peran wali dan mengumumkan pernikahan bisa digantikan olehnya? Atau turun statusnya dari rukun menjadi mandub saja.
Dalam konteks Al-Quran itulah yang disebut dengan istilah kata mitsaq ghalidhan (kontrak yang sangat kuat). Ikatan perkawinan baru akan benar-benar kuat jika sudah tercatat di KUA. Karena si wanita benar-benar terlindungi hak-haknya.
UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah mengakomodir pencatatan itu. Namun demikian, untuk KHI masih mengundang banyak kritik, karena KHI menelan fiqh mentah-mentah dan cenderung mensakralkan fiqh. Sesuatu yang justru tidak pernah terpikirkan oleh para penulisnya dulu.
Melihat berbagai pandangan di atas, sangatlah memungkinkan untuk menjadikan pencatatan sebagai rukun perkawinan, yang berarti menjadi wajib. Sebaliknya, perkawinan yang tidak dicatatkan adalah haram karena lebih banyak merugikan posisi perempuan dan bertentangan dengan semangat keadilan. Ada beberapa dalil yang bisa dikemukakan untuk mengukuhkan bahwa pencatatan perkawinan itu mempunyai peran kuat dan bahkan bisa menggantikan peran wali.
Pertama, firman Allah Swt:"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar."(QS Al-Baqarah [2]: 282)
Jika untuk urusan hutang piutang saja, Agama memerintahkan untuk melakukan pencatatan, apalagi terkait dengan nyawa manusia. Mengapa tidak? Dalam hutang piutang, diperintahkan untuk melakukan pencatatan, karena khawatir salah satu pihak mangkir dalam hal besaran piutang. Maka pencatatan tersebut akan menjadi bukti bahwa di antara para pihak telah terjadi sebuah transaksi. Jika tidak ada pencatatan, maka bisa jadi akan menimbulkan konflik bahkan bisa jadi meletus menjadi perang.
Dengan qiyas aulawi, maka pencatatan menjadi lebih penting, apalagi terkait dengan nyawa manusia. Jika dikaitkan dengan pendapat imam Syafii tentang kehujjahan mashlahat, maka mashlahat bisa diterima kehujjahannya jika mempunyai ’illat yang jelas (mundhabithah).
Selanjutnya, bahwa tradisi berpegang pada al’ibrah bi khusush al-sabab la bi umum al-lafadz selain al’ibrah bi umum al-lafdzi la bi khusush al-sabab harus dibiasakan. Karena, ungkapan yang pertama akan mengatakan bahwa sebuah pemikiran itu tidak bisa terlepas dari dimensi ruang dan waktu. Dengan demikian, kebiasaan mengeneralisir dan idealisasi tanpa batas harus dihindari.
Usulan perubahan paradigma di atas dimaksudkan pula bahwa untuk memahami teks, tidaklah harus selalu berparadigma teosentris. Pergeseran dari teosentris ke antroposentris, dari elitis ke populis adalah sebuah keniscayaan. Dengan paradigma yang demikian, problem-problem kemanusiaan akan bisa terselesaikan.
Kedua, penegakan hak asasi manusia (HAM). Sebagaimana dikemukakan di atas, Islam adalah agama yang mempunyai komitmen kepada tegaknya hak asasi manusia. Islam hadir untuk membebaskan dan menegakkan hak asasi manusia, terutama kalangan mustadh’afin, budak dan wanita. Tiga elemen masyarakat ini nyaris terampas dan paling rentan kehilangan hak asasinya. Sekiranya tidak ada Islam, mungkin tiga komponen masyarakat ini masih berada di bawah ”jajahan” orang-orang yang ”sok” berkuasa. Karena, ada Islampun, perampasan masih saja tetap berjalan. Dalam Islam ada sejumlah hak asasi yang harus dipenuhi baik oleh dirinya maupun negara, yaitu hak hidup, hak kebebasan berpikir, hak properti, hak untuk mempertahankan nama baik, dan hak untuk memiliki garis keturunan. Yang dalam bahasa agama disebut hifdz al-hayat/al-nafs, hifdz al-aql, hifdz al-mal, hifdz al-’irdh, hifdz al-nasl. Pada komitmen pemenuhan lima hal tersebut (seharusnya) seluruh ketentuan hukum dalam Islam mengacu.
Ketiga, kemaslahatan (maslahat). Kita mengetahui bahwa sesungguhnya turunnya syariat Islam itu adalah untuk mewujudkan kemaslahatan kemanusiaan universal dan menolak segala bentuk kemafsadatan. Kata kaidah "dar’u al-mafasid muqoddamun ’ala jalb al-mashalih." Menarik apa yang dikemukakan Ibn Al-Qayyim Al-Jauziyah, seorang ulama mazhab Hambali, mengatakan bahwa syariat Islam dibangun untuk kepentingan manusia dan tujuan-tujuan kemanusiaan universal yang lain, yaitu kemaslahatan (al-maslahat), keadilan (al-’adl), kerahmatan (al-rahmat) dan kebijaksanaan (al-hikmah). Prinsip-prinsip ini seharusnya menjadi dasar kebijakan dan substansi dari seluruh persoalan hukum Islam. Ia harus dijadikan landasan dalam mengeluarkan produk-produk ijtihad. Dan maslahat yang dapat diterima (mu’tabarah), menurut Abu Zahrah ialah maslahat yang bersifat hakiki, yaitu meliputi lima jaminan dasar; keselamatan keyakinan, jiwa, akal, keluarga dan harta benda.
Hanya saja persoalan yang muncul dari konsep kemaslahatan ini, siapa yang mempunyai otoritas untuk merumuskan dan mendefinisikannya. Untuk menjawabnya jelas ada dua katagori. Untuk maslahat yang menyangkut kepentingan perseorangan yang terpisah dari kepentingan orang lain, maka sebagai penentu kemaslahatan itu adalah pihak yang bersangkutan. Seperti tentang hukum poligami, yang menentukan adalah si perempuan, karena dia penentu kemaslahatan dan keadilan. Sedangkan untuk jenis kemaslahatan kedua adalah kemaslahatan yang menyangkut kepentingan orang banyak. Dalam hal ini, otoritas yang berhak memberikan penilaian adalah majelis syura’ yang kan menghasilkan konsensus bersama (ijma’). Inilah yang menjadi hukum tertinggi dan mengikat. Sebagai contoh dalam penentuan pencatatan perkawinan dimasukkan ke dalam rukun perkawinan dan bahkan menggantikan peran wali dan mengumumkan, dilakukan dengan konsensus.
Keempat, kesetaraan dan keserasian gender. Pemosisian pencatatan sebagai rukun akan menaikkan daya tawar perempuan di dalam perkawinan. Artinya, kontrak yang dibuat harus detail dan memposisikan kedua belah pihak sebagai orang yang berhak melakukan perbuatan hukum. Tentu, ini menampilkan posisi perempuan sama dan sederajat dalam hal kepemilikan kekuatan hukum.
Penulis kira, keempat hal inilah yang menjadi landasan utama, mengapa usulan memasukkan pencatatan perkawinan sebagai rukun menjadi sangat siginifikan. Argumentasi-argumentasi teologis cukup untuk menguatkan usulan tersebut.

PENUTUP
Penafsiran teks-teks suci dengan paradigma kesetaraan jender memang belum banyak bermunculan. Karena masih banyak para pihak yang takut akan kehilangan ”kekuasaannya” jika perempuan diberi posisi yang setara. Namun demikian, itu hanyalah persoalan nafsu yang merasuki logika bepikir yang meupakan bagian dari ”setan” yang harus di buang jauh-jauh dari nalar kita sebagai muslim.
Wallahu a’lamu bish shawab

By Anis Masykhur
Cendekiawan muda Nahdhatul Ulama (NU), Direktur LeNSA (Lembaga Pemberdayaan
Masyarakat Desa dan Pesantren) Kalimantan Timur.

Selasa, September 05, 2006

Sukses Menulis Buku

Anis Masykhur, putra asal Temanggung Jawa Tengah ini telah berhasil menulis tiga buah buku yang cukup bagus untuk di baca, meski hanya untuk kalangan terbatas dan masyarakat awam. Tiga buku tersebut adalah:
Pertama, "Doa Ajaran Ilahi; Tafsir atas Doa-Doa dalam Al-Quran" Buku ini mencoba menguraikan kandungan doa yang dibaca para Nabi dan dikabulkan oleh Allah Swt. Doa-doa ini begitu pendek dan bermuatan cukup padat.
Kedua, "Doa Ajaran Rasul," merupakan buku kelanjutan dari buku pertama. Doa-doa dalam buku ini diambil dari Kitab Sahih Bukhari dan Sahih Muslim, sebuah kitab yang dianggap sakral setelah Al-Quran.
Ketiga, "Menyingkap Tabir Kematian" Buku ini mencoba menginformasikan mati sebagai secara detail. Bagaimana mengupayakan mati bukanlah sesuatu yang menakutkan, karena dia adalah jalan yang harus dilalui agar bisa bertemu dengan Allah, Tuhan yang menciptakannya.
Ada beberapa buku lagi yang masih dalam tahap penyelesaian. anda dapat mendapatkan buku-buku di atas di toko-toko bukuk Gramedia atau toko buku terdekat di sekitar anda. Jika tidak ada, anda bisa kontak saya, nanti saya hubungkan ke penerbitnya