Rabu, Agustus 20, 2014

PENTINGNYA PARADIGMA DALAM PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN*)

Banyak orang yang tidak bisa merasakan pentingnya paradigma, bahkan di lingkungan akademisi pun penguasaan paradigma dianggap tidak begitu perlu. Padahal paradigma memegang peranan penting dalam men-drive langkah seseorang. Memahami paradigma memang perlu mempelajari filsafat. Namun sayangnya di dalam dunia pendidikan, filsafat tidak dipandang dengan "dua mata" (sama dengan "memandang dengan mata sebelah"). Hampir mata kuliah filsafat menjadi mata kuliah yang dipersiapkan untuk disingkirkan. Akan lebih cepat tersingkir jika akan ada materi baru/muatan tambahan. Alhasil, produk pendidikan kehilangan orientasi; antara menemukan jati dirinya sebagai manusia (insan kamil) atau menjadi 'budak' perubahan zaman yang menuju pada ketidakjelasan.

Pendidikan Indonesia nir Paradigma
Dalam pengamatan saya, bahwa sejarah pendirian lembaga pendidikan sedari awal mengalami "salah niat." Hal ini tidak bisa dilepaskan dari pengaruh kolonialisme yang berlangsung selama ratusan tahun. Sekolah formal didirikan mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi diniatkan untuk mengisi lapangan pekerjaan terutama di instansi pemerintah. Belakangan disiapkan untuk mengisi pekerjaan di dunia industri. Kita ingat ketika dulu dibuka Sekolah Rakyat (SR) atau Pendidikan Guru Agama (PGA) ditujukan untuk mengisi lowongan pegawai Pemerintah dan mengisi kekosongan guru. Pada masa awal-awalnya, sekolah formal ini diperhadapkan head to head dengan lembaga pendidikan pengusung tradisonalis. Lembaga pendidikan tradisionalis tersebut dipandang masih memegang konsep pendidikan idealis, yang direpresentasikan oleh pesantren. Maka, tidaklah aneh jika Sekolah Rakyat (SR) saat itu tidak menarik minat masyarakat, bahkan dicerca dan dicela oleh masyarakat yang masih melihat dengan "jernih" hakikat dan tujuan sebuah pendidikan. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, 'pertahanan' pendidikan tradisionalis ternyata 'jebol' ketika menghadapi 'serangan' budaya yang ditumpangi paradigma yang berbeda, bahkan cenderung tergilas. Tujuan penyelenggaraan pendidikan untuk mengisi lapangan pekerjaan terus menerus didengungkan, bahkan didukung dengan sebuah sistem nasional. Nah, akhirnya muncullah kesan bahwa menempuh pendidikan hanyalah untuk pekerjaan. Tidaklah aneh jika di beberapa daerah, masyarakat tidak memandang penting pendidikan.
Sejak tahun 2006-2007, saya keliling di beberapa daerah di Kalimantan yang--bisa--dikatagorikan ke dalam 3T (terdalam, terluar, termarginalkan). Menarik sekali mendengarkan keluhan para guru atas perilaku sebagian muridnya yang pada saat musim panen, seperti masa mengambil getah karet, atau musim ikan, mereka tidak menganggap penting pendidikan. Bahkan para murid dengan tanpa merasa bersalah dan merasa tidak penting untuk ikut uijian nasional (UN). Justru para guru yang kemudian sibuk mencari sang murid agar ikut ritual tahunan tersebut. Fenomena ini sebenarnya merupakan kritik terhadap proses pendidikan selama ini. Dalam bahasa saya, "pendidkan belum menjawab kebutuhan masyarakat yang sebenarnya".
Yah.. memang jika dicermati lebih jeli, program pendidikan yang diusung pemerintah saat ini masih sebatas untuk mengisi lowongan pekerjaan yang hingga saat ini masih belum berakhir, bahkan tampaknya tidak akan ada akhirnya. Pendidikan didesain terus menerus untuk mengisi lowongan tersebut. Tidaklah aneh jika kurikulum berubah terus menerus seiring dengan pergantian pemangku kebijakam dan bergantinya zaman yang tanpa disertai paradigma yang kokoh. Tidak aneh, jika sejak kemunculan pendidikan formal, perubahan model dan bentuk pendidikan sering terjadi, masih mencari format.
 *** 
Penyelenggaraan pendidikan seharusnya memperhatikan nilai-nilai lokalitas sebagai basis acuan penyelenggaraannya. Dalam falsafah Jawa dikenal sebuah pameo 'sangkan paraning dumadi'. Falsafah ini mengandung pesan bahwa ketika orang menjalani kehidupan harus senantiasa ingat "dari mana berasal dan mau kemana akan berakhir." Para pemangku kebijakan tampaknya belum bisa merumuskan 'dari mana berasal' dan 'dimana akan berakhir'. Sehingga kurikulum ataupun penyelenggaraan pendidikan senantiasa masih mencari bentuknya. Kalau boleh ambil kesimpulan, untuk saat ini pelaksanaan pendidikan untuk mendapatkan tujuan terakhirnya "agar lulusanmya bekerja".

Filsafat Pendidikan Islam Memperjelas 
Ajaran Islam menyadarkan manusia akan asalnya dan di mana akan berakhir, yang dalam filsafat Jawa diterjemahkan dengan kalimat filosofis 'sangkan paraning dumadi" tadi. Setidaknya manusia menempuh linearitas kehidupan harus sadar pada saat memulainya. Allah SWT tiada bosan mengingatkan manusia bahwa keberadaannya di dunia ini adalah untuk beribadah kepada-Nya (wama khalaqtul jinna wal insa illa liya'budun). Untuk itu seyogyanya pendidikan harus mensupport posisi manusia agar makin dekat dengan Tuhannya. Karena kepada Tuhan lah manusia akan berakhir. Selain hal demikian, manusia juga diberi amanat kekhalifahan. Setidaknya ada dua tugas kekhalifahan tersebut yakni untuk menjaga agama (hirasat ad-din) dan mengelola dunia seisinya (siyasat ad-dunya). Pendidikan--sekali lagi--seyogyanya memperteguh peran manusia sebagai khalifah di muka bumi. Jika berpijak pada konsep tersebut, saya melihat bahwa (sebagian) proses pendidikan telah mengabaikan fungsi hirasat ad-din dan hanya berkutat mempersiapkan peserta didik untuk mengelola dunia (siyasat ad-dunya) an sich. Perhatikan bagaimana negara secara jor joran mempromosikan pembukaan lembaga pendidikan yang membekali peserta didik dengan kompetensi vokasi, dan selama prosesnya mengabaikan kompetensi penjagaan atas ajaran agama. Efek kemanusiaannya sungguh luar biasa. Wajar jika ketika mereka bekerja, pelanggaran norma agama marak terjadi seperti korupsi, tidak disiplin, dan sejenisnya. Saya membayangkan, betapa indahnya jika motivasi kerja, suukemajuan sains dan teknologi dewasa ini lahir dari spirit hirasat ad-din. 

Pendidikan itu mempersiapkan "kunci T"
Istilah "kunci T" mengingatkan memori kolektif kita tentang alat yang sering dipergunakan para pelaku "curanmor". "Kunci T" adalah sejenis kunci yang bisa dipergunakan untuk mencongkel kunci kendaraan segala merk agar "status off" kendaraan bisa berubah menjadi "on". Personifikasi pendidikan pada jenis "kunci T" bukanlah agar pendidikan dijadikan alat untuk melakukan aneka ragam keburukan. Namun, seyogyanya proses pendidikan harus mampu melahirkan output yang memiliki fleksibilitas dalam menentukan pilihan profesi masa depannya. Sebab, apa yang menjadi tuntutan pemenuhan skill dasar--misalnya saja--salah satu perusahaan bisa dipelajari dalam waktu yang singkat melalui berbagai training. Maka, adalah "amat besar kerugian" jika visi penyelenggaraan lembaga pendidikan diperuntukkan hanya untuk mencetak lulusan "pencari kerja." 
Pendidikan seyogyanya mempersiapkan peserta didik yang kreatif. Peserta didiknya a mempunyai kunci untuk bisa menghadapi segala perubahan zaman tanpa harus menempuh studi baru. Dia bisa menggunakan kunci tersebut untuk mengembangkan dirinya. Kunci tersebut salah satunya adalah kreativitas, dengan kata lain dia bisa hidup dengan profesi apa saja dan di mana saja.
Otak manusia tidak mempunyai batas. Jika pendidikan membatasinya, maka hal itu adalah tindakan dehumanisasi. Jika hal tersebut disepakati, maka pendidikan hanya akan mempersiapkan "kunci-kunci"-nya. Bagaimanapun perubahan zaman, kurikulum "kunci" tidak akan mengalami perubahan. Di beberapa pesantren, ada beberapa lembaga yang tidak mudah mengikuti kebijakan pemerintah yang sering berubah. Justru, kini sikap istiqamah tersebut makin menunjukkan identitas dan karakter khasnya. Alhasil, justru outputnya bisa menjadi apa saja dan dengan profesi yang beraneka ragam. Sebutlah misalnya Pondok Pesantren Gontor Ponorogo. Hal inilah yang menjadikannya tetap eksis.
 
Pendidikan Tinggi Islam, Mau Ke Mana?
Pergumulan ideologi dunia berimbas pada penyelenggaraan pendidikan yang berada pada persimpangan, antara menjawab "kebutuhan zaman" atau bertahan dengan idealisme keilmuan. Saat ini, jumlah lembaga pendidikan tinggi Islam berjumlah lebih dari 580 lembaga, dan jumlah tersebut bertambah terus seiring dengan bertambahnya bulan dan tahun. Ada sebagian kecil dari beberapa PTI tersebut telah menambah mandatnya yakninmenyelenggarakan prodi umum, meski dengan niatan agar peserta didikmya mengalami penambahan yang signifikan. Bagi penulis, jika hal tersebut menjadi satu-satunya motif, maka bersiaplah perguruan tersebut menghadapi "kegersangan intelektual" menuju "keterpurukan."
Menarik sekali mencermati penjelasan Qodry Azizy--mantan Dirjen Pendidikan Islam, al-maghfur lah--ketika menyampaikan tentang konsep sederhana mengenai pencapaian kompetensi mahasiswa yang seyogyanya dicapai. Menurutnya, lulusan strata satu atau program sarjana minimal mampu mengutarakan pemikiran orang lain yang tertuang dalam beberapa karya. Sedangkan lulusan program magister minimal mampu memberikan catatan kritis atas pemikiran orang lain. Sementara lulusan program doktor minimal mampu memberikan pemikiran alternatif selain pemikiran orang lain. Pemikiran sederhana di atas cukup menarik, karena Qodry tidak memimpikan bahwa seorang sarjana seharusnya mempunyai skill untuk bekerja. Namun seorang sarjana harus terbiasa berpikir kritis. Arah ini yang nyaris kurang tergarap oleh perguruan tinggi pada umumnya. Anda boleh saja tidak setuju dengan pemikiran tersebut. Bagi penulis, kemampuan berpikir kritis adalah sebuah "kunci T" untuk menghadapi kehidupan. Wallahu a'lam bish shawab. 

*) Penulis Anis Masykhur. Tulisan ini adalah refleksi kritis atas penyelenggaraan pendidikan saat ini. Diselesaikan pada tanggal 20 Agustus 2014

JANGAN MELUPAKAN MAIN MANDATE!!

Maraknya pengajuan perubahan bentuk (alih status) di lingkungan PTAIN dari Sekolah Tinggi ke Institut dan dari Institut ke Unversitas selain patut diapresiasi, namun juga patut dicermati. Agar tidak salah arah, PTAI perlu diingatkan kembali tentang "desain" awal "main mandate" (mandat utama) dan wider mandate(perluasan mandat). Hingga tulisan ini ditulis, saya belum melakukan pelacakan secara akademik, siapa yang pertama kali menggulirkan wider mandate ini. Prediksi saya, wider mandate digulirkan ketika Kemenag (saat itu Departemen Agama) mengizinkan pembukaan prodi tadris--sebutan lain untuk kata pendidikan--untuk bidang ilmu pendidikan mapel umum seperti tadris biologi, tadris bahasa Inggris, tadris bahasa Indonesia dan lain sebagainya.
Menarik ketika berdiskusi dengan Dr. Toto Bintoro, M.Pd, Dosen pada Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang juga menjabat Ketua Tim PPG Kemdikbud, mengeluhkan bahwa perguruan tinggi yang berubah nama menjadi universitas (tampaknya) melupakan main mandate-nya. Sebenarnya, tema yang dibicarakan tidak terkait dengan agenda rapat saat itu, tentang PPG. "Keluhan" ini patut dicermati karena hal yang sama tampaknya juga terjadi pada PTAIN. Istilah main mandate dan wider mandate dimunculkan saat itu karena perguruan tinggi dengan kewenangan yang ada dirasa sudah tidak mampu lagi menjawab pertanyaan-pertanyaan krusial dan tidak dapat menjangkaunya.
Perubahan IKIP menjadi Universitas ditujukan agar IKIP tidak kehilangan substansi keilmuwan yang selama ini hanya berkecimpung pada sisi pedagogiknya saja. Jadi main mandate Universitas yang pada awalnya IKIP adalah sebagai lembaga pendidikan tenaga kependidikan. Pembukaan prodi-prodi keilmuan di luar "ilmu pendidikan" agar IKIP tidak kehilangan "ilmu"nya. Sama halnya dengan PTAIN, yang main mandate-nya--saya ingatkan kembali--adalah bidang keagamaan. Perubahan IAIN ke Universitas jangan sampai menyerupai apa yang dikeluhkan Totok. Memang, program studi yang merupakan kewenangan IAIN dipandang tidak mampu menjawab permasalahan yang mengemukakan di tengah masyarakat. Maka dari itu, penambahan fakultas-fakultas baru--tentunya diikuti juga dengan pembukaan prodi baru--bukan sekedar untuk memperbesar jumlah mahasiswa PTAI. Jauh lebih mulia dari sekedar menambah jumlah mahasiwa, yakni agar memberikan warna terhadap kajian-kajian keagamaan. Dengan demikian pemahaman konsep keagamaan bisa dituntaskan dengan pendekatan atau perspektif di "luar keagamaan." Sebagai contoh Universitas Islam baru agar menyelenggarakan program studi--misalnya--anthropologi untuk memperkuat perspektif proses tasyri’-nya. Maka dengannya UIN akan mampu menghasilkan produk pemikiran yang komprehensif (kaffah). Agama menjadi tidak dipahami dengan perspektif parsial.

Melupakan Main Mandate 
Tahun 2013 merupakan tahun terbesar dalam sejarah pengajuan alih status atau perubahan bentuk dari IAIN ke UIN. IAIN yang sudah merasa tua mengajukan perubahan bentuk dengan mengajukan program studi yang kadang jika dicermati dengan perspektif main mandate tidak berkaitan. Argumen yang dibangun pun kurang mencerminkan visi main mandate. Meskipun hal demikian tidak juga bisa disalahkan. Pembukaan fakultas kedokteran misalnya, tidak berhubungan dengan desain awal, karena yang menjadi pertanyaannya adalah mendukung prodi keagamaan yang mana dari main mandate? Meskipun demikian, ternyata argumen yang dikemukakan malah menjadi lebih argumentatif karena alasan yang dikemukakan adalah kebutuhan masyarakat muslim yang seyogyanya diproduk dari institusi keislaman. Ya... logis juga. Karena kenyataannya adalah itu realita kebutuhan masyarakat. Hal yang sama dengan penyelenggaraan bidang ilmu sain dan teknologi.
Wider mandate diharapkan ada pengayaan dan pendalaman terhadap kajian keislaman yang cenderung "sekuler". Keberadaan bidang ilmu di luar keislaman diharapkan mampu mengkombinasikan pertemuan dua ilmu yang selama ini dipisahkan oleh sejarah. Namun terus terang, pembukaan prodi saintek ini tidak bersentuhan dengan desain awal kebijakan wider mandate. Namun demikian, PTAIN sangat diuntungkan dengan perluasan kewenangan ini--meski tidak berkaitan--yang melampauinya, karena kajian tentang sain dan teknologi atas teks suci di lingkungan instiusi keislaman menjadi terbuka. Nah, keuntungannya adalah kita didorong tidak akan berapologi lagi, karena sudah mempunyai peneliti dan akademisi sendiri di bidang sains Tidak seperti saat ini, yang sedikit-sedikit diungkapkan "sesuai dengan Islam" atau "sudah ada dalam Islam". Maka, wajar jika salah satu persyaratan utama Alih status atau perubahan nama harus diikuti dengan integrasi keilmuan.

Integrasi tidak Sekedar Penggabungan
Dalam beberapa kesempatan, integrasi keilmuan sering dimaknai dengan penambahan mata kuliah keislaman pada fakultas atau prodi umum. Memang integrasi dimaknai seperti itu tidak salah seratus persen. Namun pemahaman yang demikian akan membebani mahasiswa dengan bertambahnya SKS yang harus ditempuh. Tentu ini menjadi tidak produktif.
Penyelenggara PTAIN yang dapat perluasan mandat juga harus memahami, bahwa perubahan bentuk ke UIN bukanlah dimaknai dengan mahasiswa--misalnya--saintek yang hafal isi kitab Suci, atau mahasiswa kedokteran yang hafal Al-Quran, tanpa mengetahui keterkaitan antara yang dihafal dengan ilmu yang dipelajarinya. Bukan pula harus dimaknai dengan penambahan mata kuliah keagamaan di dalam struktur mata kuliah prodinya. Meski yang demikian itu juga tidak bisa disalahkan. Jauh lebih dalam dari hal itu. Jika hal demikian yang terjadi, desain integrasi keilmuan berarti belum terumuskan dengan baik. Integrasi ilmu diharapkan bisa menjadikan ilmu menjadi sesuatu sakral, bukan profan.
Orang berilmu mampu menghadirkan dirinya untuk senantiasa berperilaku sesuai dengan hakikat ilmu dan keislamannya. Lebih jauh dari itu, prinsip integrasi dimaksudkan menemukan kembali mata rantai sejarah keilmuan yang ter(di)putus. Seperi contoh tentang substansi hukum KUHPerd (wetbook) dipandang sekuler karena produk Belanda. Dr. Rumnessa, salah satu hakim Agung saat itu pernah menyatakan bahwa Wetbook Belanda diyakini diinspirasi oleh spirit Islam. Nalar saya kemudian menggiring kepada asal usul peraturan perundang-undangan zaman itu. kita perlu mencurigai bahwa KUHPErdt terinspirasi dari perundangan yang telah diproduk khilafah Islamiyah Turki. Menurut Rum, KUHPerd disinyalir menjiplak code civil Perancis. Ingat, ketika Perancis menjadi negara besar pada zaman itu pernah menjajah Mesir yang saat itu berada di wilayah khilafah Turki Utsmani. Penjajahan inilah yang memunculkan dugaan bahwa Perancis mengadopsi perundangan dari negri Muslim. 

Berharap Kemunculan Sain dari Al-Quran 
 Memang peluang untuk menggali Al-Quran sebagai sumber inspirasi keilmuan dalam Islam menjadi terbuka setelah IAIN berubah bentuk menjadi UIN. Pertanyaannya, mampukah para mahasiswa mampu memenuhi tuntutan yang demikian itu? Mengingat kemampuan baca Al-Quran saja--berdasarkan pemaparan salah satu STAIN-- sebanyak dalam kisaran 40% input PTAIN tidak bisa membacanya, apalagi tahu maknanya. Apalagi di UIN yang inputnya diyakini lulusan non pesantren dan madrasah menjadi makin besar. Bagaimana para mahasiswa ini akan dapat memenuhi impian. Inilah yang dikhawatirkan beberapa kalangan perubahan bentuk menjadi Universitas tidak sesuai dengan yang diimpikan selama ini. Namun demikian, kelemahan ini sekaligus menjadi peluang sekaligus tantangan pengembangan Universitas ke depan.

 *) Ditulis saat penulis menjabat sebagai Kasi Pembinaan Kelembagaan Subdit Kelembagaan. Yang terungkap di tulisan di atas adalah pendapat pribadi dengan tetap berpijak pada data-data yang ada seperti bahan pidato Menteri Agama dan Dirjen Pendidikan Islam.