Pendidikan Indonesia nir Paradigma
Dalam pengamatan saya, bahwa sejarah pendirian lembaga pendidikan sedari awal mengalami "salah niat." Hal ini tidak bisa dilepaskan dari pengaruh kolonialisme yang berlangsung selama ratusan tahun. Sekolah formal didirikan mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi diniatkan untuk mengisi lapangan pekerjaan terutama di instansi pemerintah. Belakangan disiapkan untuk mengisi pekerjaan di dunia industri. Kita ingat ketika dulu dibuka Sekolah Rakyat (SR) atau Pendidikan Guru Agama (PGA) ditujukan untuk mengisi lowongan pegawai Pemerintah dan mengisi kekosongan guru. Pada masa awal-awalnya, sekolah formal ini diperhadapkan head to head dengan lembaga pendidikan pengusung tradisonalis. Lembaga pendidikan tradisionalis tersebut dipandang masih memegang konsep pendidikan idealis, yang direpresentasikan oleh pesantren. Maka, tidaklah aneh jika Sekolah Rakyat (SR) saat itu tidak menarik minat masyarakat, bahkan dicerca dan dicela oleh masyarakat yang masih melihat dengan "jernih" hakikat dan tujuan sebuah pendidikan. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, 'pertahanan' pendidikan tradisionalis ternyata 'jebol' ketika menghadapi 'serangan' budaya yang ditumpangi paradigma yang berbeda, bahkan cenderung tergilas. Tujuan penyelenggaraan pendidikan untuk mengisi lapangan pekerjaan terus menerus didengungkan, bahkan didukung dengan sebuah sistem nasional. Nah, akhirnya muncullah kesan bahwa menempuh pendidikan hanyalah untuk pekerjaan. Tidaklah aneh jika di beberapa daerah, masyarakat tidak memandang penting pendidikan.
Sejak tahun 2006-2007, saya keliling di beberapa daerah di Kalimantan yang--bisa--dikatagorikan ke dalam 3T (terdalam, terluar, termarginalkan). Menarik sekali mendengarkan keluhan para guru atas perilaku sebagian muridnya yang pada saat musim panen, seperti masa mengambil getah karet, atau musim ikan, mereka tidak menganggap penting pendidikan. Bahkan para murid dengan tanpa merasa bersalah dan merasa tidak penting untuk ikut uijian nasional (UN). Justru para guru yang kemudian sibuk mencari sang murid agar ikut ritual tahunan tersebut. Fenomena ini sebenarnya merupakan kritik terhadap proses pendidikan selama ini. Dalam bahasa saya, "pendidkan belum menjawab kebutuhan masyarakat yang sebenarnya".
Yah.. memang jika dicermati lebih jeli, program pendidikan yang diusung pemerintah saat ini masih sebatas untuk mengisi lowongan pekerjaan yang hingga saat ini masih belum berakhir, bahkan tampaknya tidak akan ada akhirnya. Pendidikan didesain terus menerus untuk mengisi lowongan tersebut. Tidaklah aneh jika kurikulum berubah terus menerus seiring dengan pergantian pemangku kebijakam dan bergantinya zaman yang tanpa disertai paradigma yang kokoh. Tidak aneh, jika sejak kemunculan pendidikan formal, perubahan model dan bentuk pendidikan sering terjadi, masih mencari format.
***
Penyelenggaraan pendidikan seharusnya memperhatikan nilai-nilai lokalitas sebagai basis acuan penyelenggaraannya. Dalam falsafah Jawa dikenal sebuah pameo 'sangkan paraning dumadi'. Falsafah ini mengandung pesan bahwa ketika orang menjalani kehidupan harus senantiasa ingat "dari mana berasal dan mau kemana akan berakhir." Para pemangku kebijakan tampaknya belum bisa merumuskan 'dari mana berasal' dan 'dimana akan berakhir'. Sehingga kurikulum ataupun penyelenggaraan pendidikan senantiasa masih mencari bentuknya. Kalau boleh ambil kesimpulan, untuk saat ini pelaksanaan pendidikan untuk mendapatkan tujuan terakhirnya "agar lulusanmya bekerja".Filsafat Pendidikan Islam Memperjelas
Ajaran Islam menyadarkan manusia akan asalnya dan di mana akan berakhir, yang dalam filsafat Jawa diterjemahkan dengan kalimat filosofis 'sangkan paraning dumadi" tadi. Setidaknya manusia menempuh linearitas kehidupan harus sadar pada saat memulainya. Allah SWT tiada bosan mengingatkan manusia bahwa keberadaannya di dunia ini adalah untuk beribadah kepada-Nya (wama khalaqtul jinna wal insa illa liya'budun). Untuk itu seyogyanya pendidikan harus mensupport posisi manusia agar makin dekat dengan Tuhannya. Karena kepada Tuhan lah manusia akan berakhir. Selain hal demikian, manusia juga diberi amanat kekhalifahan. Setidaknya ada dua tugas kekhalifahan tersebut yakni untuk menjaga agama (hirasat ad-din) dan mengelola dunia seisinya (siyasat ad-dunya). Pendidikan--sekali lagi--seyogyanya memperteguh peran manusia sebagai khalifah di muka bumi. Jika berpijak pada konsep tersebut, saya melihat bahwa (sebagian) proses pendidikan telah mengabaikan fungsi hirasat ad-din dan hanya berkutat mempersiapkan peserta didik untuk mengelola dunia (siyasat ad-dunya) an sich. Perhatikan bagaimana negara secara jor joran mempromosikan pembukaan lembaga pendidikan yang membekali peserta didik dengan kompetensi vokasi, dan selama prosesnya mengabaikan kompetensi penjagaan atas ajaran agama. Efek kemanusiaannya sungguh luar biasa. Wajar jika ketika mereka bekerja, pelanggaran norma agama marak terjadi seperti korupsi, tidak disiplin, dan sejenisnya. Saya membayangkan, betapa indahnya jika motivasi kerja, suukemajuan sains dan teknologi dewasa ini lahir dari spirit hirasat ad-din.
Pendidikan itu mempersiapkan "kunci T"
Istilah "kunci T" mengingatkan memori kolektif kita tentang alat yang sering dipergunakan para pelaku "curanmor". "Kunci T" adalah sejenis kunci yang bisa dipergunakan untuk mencongkel kunci kendaraan segala merk agar "status off" kendaraan bisa berubah menjadi "on". Personifikasi pendidikan pada jenis "kunci T" bukanlah agar pendidikan dijadikan alat untuk melakukan aneka ragam keburukan. Namun, seyogyanya proses pendidikan harus mampu melahirkan output yang memiliki fleksibilitas dalam menentukan pilihan profesi masa depannya. Sebab, apa yang menjadi tuntutan pemenuhan skill dasar--misalnya saja--salah satu perusahaan bisa dipelajari dalam waktu yang singkat melalui berbagai training. Maka, adalah "amat besar kerugian" jika visi penyelenggaraan lembaga pendidikan diperuntukkan hanya untuk mencetak lulusan "pencari kerja."
Pendidikan seyogyanya mempersiapkan peserta didik yang kreatif. Peserta didiknya a mempunyai kunci untuk bisa menghadapi segala perubahan zaman tanpa harus menempuh studi baru. Dia bisa menggunakan kunci tersebut untuk mengembangkan dirinya. Kunci tersebut salah satunya adalah kreativitas, dengan kata lain dia bisa hidup dengan profesi apa saja dan di mana saja.
Otak manusia tidak mempunyai batas. Jika pendidikan membatasinya, maka hal itu adalah tindakan dehumanisasi. Jika hal tersebut disepakati, maka pendidikan hanya akan mempersiapkan "kunci-kunci"-nya. Bagaimanapun perubahan zaman, kurikulum "kunci" tidak akan mengalami perubahan. Di beberapa pesantren, ada beberapa lembaga yang tidak mudah mengikuti kebijakan pemerintah yang sering berubah. Justru, kini sikap istiqamah tersebut makin menunjukkan identitas dan karakter khasnya. Alhasil, justru outputnya bisa menjadi apa saja dan dengan profesi yang beraneka ragam. Sebutlah misalnya Pondok Pesantren Gontor Ponorogo. Hal inilah yang menjadikannya tetap eksis.
Pendidikan Tinggi Islam, Mau Ke Mana?
Pergumulan ideologi dunia berimbas pada penyelenggaraan pendidikan yang berada pada persimpangan, antara menjawab "kebutuhan zaman" atau bertahan dengan idealisme keilmuan. Saat ini, jumlah lembaga pendidikan tinggi Islam berjumlah lebih dari 580 lembaga, dan jumlah tersebut bertambah terus seiring dengan bertambahnya bulan dan tahun. Ada sebagian kecil dari beberapa PTI tersebut telah menambah mandatnya yakninmenyelenggarakan prodi umum, meski dengan niatan agar peserta didikmya mengalami penambahan yang signifikan. Bagi penulis, jika hal tersebut menjadi satu-satunya motif, maka bersiaplah perguruan tersebut menghadapi "kegersangan intelektual" menuju "keterpurukan."
Menarik sekali mencermati penjelasan Qodry Azizy--mantan Dirjen Pendidikan Islam, al-maghfur lah--ketika menyampaikan tentang konsep sederhana mengenai pencapaian kompetensi mahasiswa yang seyogyanya dicapai. Menurutnya, lulusan strata satu atau program sarjana minimal mampu mengutarakan pemikiran orang lain yang tertuang dalam beberapa karya. Sedangkan lulusan program magister minimal mampu memberikan catatan kritis atas pemikiran orang lain. Sementara lulusan program doktor minimal mampu memberikan pemikiran alternatif selain pemikiran orang lain. Pemikiran sederhana di atas cukup menarik, karena Qodry tidak memimpikan bahwa seorang sarjana seharusnya mempunyai skill untuk bekerja. Namun seorang sarjana harus terbiasa berpikir kritis. Arah ini yang nyaris kurang tergarap oleh perguruan tinggi pada umumnya. Anda boleh saja tidak setuju dengan pemikiran tersebut. Bagi penulis, kemampuan berpikir kritis adalah sebuah "kunci T" untuk menghadapi kehidupan. Wallahu a'lam bish shawab.
*) Penulis Anis Masykhur. Tulisan ini adalah refleksi kritis atas penyelenggaraan pendidikan saat ini. Diselesaikan pada tanggal 20 Agustus 2014