Jumat, Oktober 06, 2006

Pencatatan adalah Rukun Nikah

LATAR BELAKANG
Islam adalah agama yang membebaskan. Membebaskan siapa? Pertanyaan ini patut dijawab mengingat pernyataan-pernyataan tersebut sering muncul namun kita tiada memahaminya. Ada dua kelompok masyarakat yang paling penting yang menjadi sasaran pembebasan.
Pertama, orang-orang mustadh’afin. Penyebutan mustadh’afin ini sangat bertendensi. Karena, orang lemah atau miskin itu bukanlah karena faktor dirinya. Namun karena sistem yang diciptakan. Ajaran Al-Quran menginginkan penghancuran sistem yang bisa menciptakan kemiskinan dan kelemahan. Namun sayangnya, tidak sedikit para pemegang otoritas tafsir sendiri telah masuk dalam sistem tersebut. Pada akhirnya, tidak aneh produk sistem yang ada masih saja tetap menindas meskipun dengan landasan agama.
Kedua, Budak dan (ketiga) perempuan. Kedua makhluk ini adalah makhluk yang superkuat. Namun karena konstruk sosial, seolah-olah tampak lemah. Tidak hanya faktor bentukan masyarakat. Bahkan secara teologis, terutama perempuan sedari awal diposisikan marginal. Hal ini dimaklumi. Namun apakah Tuhan betul-betul memposisikannya demikian rendah, sementara Tuhan adalah Maha Adil? Naluri kita tentu tidak akan menjawab "ya" untuk pertanyaan tersebut. Yang bisa kita katakan adalah karena Tuhan berbicara sesuai dengan konteksnya saat itu. Jika tidak, mungkin ajaran Tuhan tidak akan bisa besar seperti sampai saat ini. Untuk itu banyak pasal-pasal ”karet” (baca: multi interpretable) dalam firman-Nya. Termasuk dalam hal memposisikan perempuan. Begitu canggih redaksi Tuhan memposisikan posisi perempuan di tengah kondisi yang sangat tidak menghargai perempuan. Di tambah lagi dengan kekuatan gaya diplomasi yang ada pada diri Nabi Muhammad Saw.
Pada masa itulah, derajat kaum perempuan begitu berubah 1800, dari makhluk tak berharga menjadi makhluk yang mempunyai "harga." Penghargaan ini telah membuka akal kreatif dan partisipasi mereka di dalam kancah publik dan intelektual. Kita lihat bagaima keterlibatan mereka dalam dunia ilmu periwayatan hadis. Lebih dari 1.232 wanita yang terlibat di dalamnya. Bahkan, mereka juga banyak berperan dalam mensuplai amunisi ketika berperang menegakkan agama Allah di bumi ini. Namun sayangnya, sepeninggal Nabi Muhammad Saw, tradisi jahiliyah yang memarginalkan mereka kembali tumbuh, dan disokong oleh kekuasaan saat itu. Penghormatan kepada perempuan mengalami abrasi. Terlihat dalam peran keilmuwan, peran wanita turun drastis. Pada masa tabiin berkisar sekitar 150 orang, apalagi pada masa tabiut tabiin, hanya sekitar 50 orang. Ini kemudian mempunyai dampak yang sangat signifikan dalam perkembangan keilmuwan di kemudian hari. Dominasi mufassir oleh laki-laki jelas mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap produk pemikirannya. Artinya, produknyapun tidak akan jauh-jauh dari kepentingan kalangan laki-laki. Termasuk di dalam hal perkawinan yang akan menjadi bahasan dalam makalah ini. Anda bisa membaca perkataan Al-Ghazali dalam magnum opusnya, Ihya Ulumiddin, ’al-nikah min anwa’i riqbin’ yang berarti pernikahan adalah salah jenis dari perbudakan. Memang, pernyataan ini tidak bisa terlepas dari konteksnya saat itu yang masih mendominasi nalar para ulama saat itu. Namun demikian, kita tidak boleh serta merta mengikut pendapat yang demikian. Desakralisasi fiqh dengan penalaran yang logis menjadi sebuah kebutuhan.
***
Perkawinan adalah salah satu proses yang sangat sakral di dalam Ajaran Islam. Karena dengan perkawinan tersebut, manusia bisa terjaga dari kemusnahan. Agama Islam sangat memperhatikan perkawinan ini, sehingga pengaturannya begitu rigid dan komplit. Kesalahan dalam salah satu tahap/proses akan dapat merusak proses keturunan.
Banyak hikmah yang timbul dari perkawinan. Perkawinan dapat menumbuhkan naluri kebapakan dan keibuan, naluri kemanusiaannya tersalurkan, dan relasi antar manusia makin abadi karena perkawinan. Selain hikmah positif di atas, perkawinan juga tidak jarang menimbulkan kesengsaraan bagi kalangan wanita yang selalu diposisikan sebagai objek sasaran pemuasan nafsu suami dan sasaran pekerjaan domestik lainnya. Lebih ironis lagi, instrumen perlindungan terhadap hak-hak perempuan tidak begitu kuat. Meskipun sebenarnya dalam fiqh-fiqh konvensional, instrumen perlindungan tersebut dimanifestasikan dalam bentuk "perwalian."
Tradisi patriarkhi masyarakat memposisikan perempuan sebagai the second class, yang jelas mempunyai implikasi cukup signifikan dalam pemberian peran terhadapnya.
Di zaman modern ini, bersamaan dengan tuntutan untuk menjadi negara demokrasi yang di dalamnya adanya instrumen perlindungan terhadap HAM, maka dalam perkawinan posisi perempuan harus diberikan perlindungan yang maksimal.
Dalam tulisan ini akan dicoba diulas tentang upaya menjadikan "pencatatan perkawinan" menjadi salah satu rukun dalam pernikahan dengan berbagai argumentasinya.

KONSEP PERWALIAN DAN MENGUMUMKAN PERKAWINAN
Pada dasarnya, konsep perwalian muncul di dalam konteks perempuan yang berada di posisi yang sangat lemah di tengah masyarakat.
Kata wali seakar dengan kara al-wilayah yang menurut syara’ artinya melaksanakan wewenang orang lain dan mengurusi urusan-urusannya. Sementara sebagian para ulama lainnya mendefinisikannya dengan “melaksanakan wewenang orang lain, baik orang lain itu suka atau tidak”.
Perwalian menjadi wajib adanya pada saat melangsungkan perkawinan karena dengan wali—minimal—si perempuan mempunyai badan pertimbangan atas pilihannya sehingga dia tidak salah pilih. Karena pernikahannya menyangkut keselamatannya di dalam mengarungi kehidupan beberapa tahun ke depannya. Jika salah pilih, bisa jadi nasibnya akan hancur bahkan bisa mendatangkan kematian. Selain itu, konteks lain kemunculan perwalian mengingat perempuan jarang keluar rumah, sehingga dikhawatirkan akan salah pilih. Untuk itu diperlukan pertimbangan wali. Dengan demikian, pasangannya diharapkan tepat.
Dasar Hukum wajibnya wali dalam perkawinan itu sendiri firman Allah dalam QS Al-Nur: 32, QS Al-Baqarah: 222." …dan janganlah kalian menikahkan orang-oreang musyrik (dengan wanita muslim) sampai mereka beriman…"
Hithab (tujuan) dari ayat di atas adalah orang laki-laki yang mempunyai kuasa terhadap perempuan, dan tidak di-hithabkan pada perempuan itu sendiri.
Selain itu adalah hadis Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Al-Tirmidzi dari Aisyah:
Siapapun perempuan yang menikah tanpa izin dari walinya maka nikahnya itu bathil (rusak, tidak sah), nikahnya bathil, nikahnya bathil. Jika kemudian telah terjadi hubungan badan, maka bagi perempuan tersebut ma kawin (mahar) karena diharapkan kehalalan kelaminnya. Jika terjadi perselisihan, maka sultan (hakim)lah yang berhak menjadi wali bagi orang yang tidak ada wali baginya.
Hadis ini banyak diriwayatkan dengan kandungan yang sama meskipun redaksinya berbeda-beda.
Karena pentingnya perlindungan ini hingga mazhab Syafii saja sangat ketat dalam menerapkan persyaratan wali. Salah satunya adalah wali kerabat dekat (qarib). Jika tidak ada wali dari kerabat dekat, Imam Syafii berpendapat baru boleh dengan wali kerabat jauh (ba'id).
Begitu juga dengan mengumumkan kepada publik tentang perkawinan. Sebenarnya hal ini dimaksudkan untuk memberikan penilaian tentang pasangannya. Sehingga baik buruknya pasangan tersebut bisa dideteksi lebih dini dan akurat.

PENCATATAN SEBAGAI RUKUN PERKAWINAN, MENGAPA TIDAK?
Di zaman modern ini, perangkat untuk lebih melindungi perempuan diformalkan dalam bentuk Undang-undang. Salah satunya yang menjadi kewajiban dalam perkawinan adalah adanya pencatatan perkawinan. Meskipun pada awalnya, pencatatan ini difungsikan untuk kepentingan administrasi negara, namun ternyata ketika terjadi persengketaan perkawinan, pencatatan ini memegang peranan sangat penting. Hal yang terdekat pasca perkawinan adalah bahwa perempuan bisa meminta haknya yakni harta gono gini-nya, bisa meminta hak asuh terhadap anaknya, bahkan bisa meminta biaya hidupnya selama masa iddah dan belum mendapatkan suami barunya.
Di lihat dari hal-hal di atas, pencatatan perkawinan tampak sekali lebih memberikan perlindungan terhadap perempuan. Ini berarti, memenuhi prinsip keadilan dan sekaligus menjaga kehormatan sebagai umat manusia.
Dalam konteks dunia internasional, jelas hal itu di dukung oleh hukum internasional karena bersamaan dengan itu adanya kepentingan memberikan perlindungan terhadap perempuan.
Jika peran pencatatan perkawinan lebih kuat dari posisi wali, mengapa tidak pencatatan masuk menjadi rukun perkawinan, bahkan jika mungkin peran wali dan mengumumkan pernikahan bisa digantikan olehnya? Atau turun statusnya dari rukun menjadi mandub saja.
Dalam konteks Al-Quran itulah yang disebut dengan istilah kata mitsaq ghalidhan (kontrak yang sangat kuat). Ikatan perkawinan baru akan benar-benar kuat jika sudah tercatat di KUA. Karena si wanita benar-benar terlindungi hak-haknya.
UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah mengakomodir pencatatan itu. Namun demikian, untuk KHI masih mengundang banyak kritik, karena KHI menelan fiqh mentah-mentah dan cenderung mensakralkan fiqh. Sesuatu yang justru tidak pernah terpikirkan oleh para penulisnya dulu.
Melihat berbagai pandangan di atas, sangatlah memungkinkan untuk menjadikan pencatatan sebagai rukun perkawinan, yang berarti menjadi wajib. Sebaliknya, perkawinan yang tidak dicatatkan adalah haram karena lebih banyak merugikan posisi perempuan dan bertentangan dengan semangat keadilan. Ada beberapa dalil yang bisa dikemukakan untuk mengukuhkan bahwa pencatatan perkawinan itu mempunyai peran kuat dan bahkan bisa menggantikan peran wali.
Pertama, firman Allah Swt:"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar."(QS Al-Baqarah [2]: 282)
Jika untuk urusan hutang piutang saja, Agama memerintahkan untuk melakukan pencatatan, apalagi terkait dengan nyawa manusia. Mengapa tidak? Dalam hutang piutang, diperintahkan untuk melakukan pencatatan, karena khawatir salah satu pihak mangkir dalam hal besaran piutang. Maka pencatatan tersebut akan menjadi bukti bahwa di antara para pihak telah terjadi sebuah transaksi. Jika tidak ada pencatatan, maka bisa jadi akan menimbulkan konflik bahkan bisa jadi meletus menjadi perang.
Dengan qiyas aulawi, maka pencatatan menjadi lebih penting, apalagi terkait dengan nyawa manusia. Jika dikaitkan dengan pendapat imam Syafii tentang kehujjahan mashlahat, maka mashlahat bisa diterima kehujjahannya jika mempunyai ’illat yang jelas (mundhabithah).
Selanjutnya, bahwa tradisi berpegang pada al’ibrah bi khusush al-sabab la bi umum al-lafadz selain al’ibrah bi umum al-lafdzi la bi khusush al-sabab harus dibiasakan. Karena, ungkapan yang pertama akan mengatakan bahwa sebuah pemikiran itu tidak bisa terlepas dari dimensi ruang dan waktu. Dengan demikian, kebiasaan mengeneralisir dan idealisasi tanpa batas harus dihindari.
Usulan perubahan paradigma di atas dimaksudkan pula bahwa untuk memahami teks, tidaklah harus selalu berparadigma teosentris. Pergeseran dari teosentris ke antroposentris, dari elitis ke populis adalah sebuah keniscayaan. Dengan paradigma yang demikian, problem-problem kemanusiaan akan bisa terselesaikan.
Kedua, penegakan hak asasi manusia (HAM). Sebagaimana dikemukakan di atas, Islam adalah agama yang mempunyai komitmen kepada tegaknya hak asasi manusia. Islam hadir untuk membebaskan dan menegakkan hak asasi manusia, terutama kalangan mustadh’afin, budak dan wanita. Tiga elemen masyarakat ini nyaris terampas dan paling rentan kehilangan hak asasinya. Sekiranya tidak ada Islam, mungkin tiga komponen masyarakat ini masih berada di bawah ”jajahan” orang-orang yang ”sok” berkuasa. Karena, ada Islampun, perampasan masih saja tetap berjalan. Dalam Islam ada sejumlah hak asasi yang harus dipenuhi baik oleh dirinya maupun negara, yaitu hak hidup, hak kebebasan berpikir, hak properti, hak untuk mempertahankan nama baik, dan hak untuk memiliki garis keturunan. Yang dalam bahasa agama disebut hifdz al-hayat/al-nafs, hifdz al-aql, hifdz al-mal, hifdz al-’irdh, hifdz al-nasl. Pada komitmen pemenuhan lima hal tersebut (seharusnya) seluruh ketentuan hukum dalam Islam mengacu.
Ketiga, kemaslahatan (maslahat). Kita mengetahui bahwa sesungguhnya turunnya syariat Islam itu adalah untuk mewujudkan kemaslahatan kemanusiaan universal dan menolak segala bentuk kemafsadatan. Kata kaidah "dar’u al-mafasid muqoddamun ’ala jalb al-mashalih." Menarik apa yang dikemukakan Ibn Al-Qayyim Al-Jauziyah, seorang ulama mazhab Hambali, mengatakan bahwa syariat Islam dibangun untuk kepentingan manusia dan tujuan-tujuan kemanusiaan universal yang lain, yaitu kemaslahatan (al-maslahat), keadilan (al-’adl), kerahmatan (al-rahmat) dan kebijaksanaan (al-hikmah). Prinsip-prinsip ini seharusnya menjadi dasar kebijakan dan substansi dari seluruh persoalan hukum Islam. Ia harus dijadikan landasan dalam mengeluarkan produk-produk ijtihad. Dan maslahat yang dapat diterima (mu’tabarah), menurut Abu Zahrah ialah maslahat yang bersifat hakiki, yaitu meliputi lima jaminan dasar; keselamatan keyakinan, jiwa, akal, keluarga dan harta benda.
Hanya saja persoalan yang muncul dari konsep kemaslahatan ini, siapa yang mempunyai otoritas untuk merumuskan dan mendefinisikannya. Untuk menjawabnya jelas ada dua katagori. Untuk maslahat yang menyangkut kepentingan perseorangan yang terpisah dari kepentingan orang lain, maka sebagai penentu kemaslahatan itu adalah pihak yang bersangkutan. Seperti tentang hukum poligami, yang menentukan adalah si perempuan, karena dia penentu kemaslahatan dan keadilan. Sedangkan untuk jenis kemaslahatan kedua adalah kemaslahatan yang menyangkut kepentingan orang banyak. Dalam hal ini, otoritas yang berhak memberikan penilaian adalah majelis syura’ yang kan menghasilkan konsensus bersama (ijma’). Inilah yang menjadi hukum tertinggi dan mengikat. Sebagai contoh dalam penentuan pencatatan perkawinan dimasukkan ke dalam rukun perkawinan dan bahkan menggantikan peran wali dan mengumumkan, dilakukan dengan konsensus.
Keempat, kesetaraan dan keserasian gender. Pemosisian pencatatan sebagai rukun akan menaikkan daya tawar perempuan di dalam perkawinan. Artinya, kontrak yang dibuat harus detail dan memposisikan kedua belah pihak sebagai orang yang berhak melakukan perbuatan hukum. Tentu, ini menampilkan posisi perempuan sama dan sederajat dalam hal kepemilikan kekuatan hukum.
Penulis kira, keempat hal inilah yang menjadi landasan utama, mengapa usulan memasukkan pencatatan perkawinan sebagai rukun menjadi sangat siginifikan. Argumentasi-argumentasi teologis cukup untuk menguatkan usulan tersebut.

PENUTUP
Penafsiran teks-teks suci dengan paradigma kesetaraan jender memang belum banyak bermunculan. Karena masih banyak para pihak yang takut akan kehilangan ”kekuasaannya” jika perempuan diberi posisi yang setara. Namun demikian, itu hanyalah persoalan nafsu yang merasuki logika bepikir yang meupakan bagian dari ”setan” yang harus di buang jauh-jauh dari nalar kita sebagai muslim.
Wallahu a’lamu bish shawab

By Anis Masykhur
Cendekiawan muda Nahdhatul Ulama (NU), Direktur LeNSA (Lembaga Pemberdayaan
Masyarakat Desa dan Pesantren) Kalimantan Timur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar