(Tulisan ini pernah dimuat di Harian Kompas, Minggu, 5 September 1999)
Judul Buku : Politik Demi Tuhan
Nasionalisme Religius Di Indonesia
Penulis : Abdurrahman Wahid dkk
Editor : Andito (Abu Zahra)
Pengantar : Eep Saefulloh Fatah
Cetakan : I , Juni 1999
Tebal : 436 halaman
Penerbit : Pustaka Hidayah, Bandung
Harga : 34.000,00
Pemilu 1999 telah memunculkan 48 partai, sebagai sebuah ‘ledakan partisipasi’ masyarakat. Tapi sayang, dari sekian banyak partai Islam atau berbasis massa Islam dalam pemilu tersebut tidak memperoleh suara yang signifikan. Sehingga muncul anggapan bahwa pemilu kali ini adalah simbol kekalahan umat Islam.
Hal inilah yang disorot dalam buku yang berjudul “Politik Demi Tuhan” ini, yang menggugat kembali keberadaan Politik Islam, apakah benar membawa misi suci atau politisasi?, Benarkah naiknya B.J. Habibie sebagai presiden itu merupakan representasi politik (umat) Islam ?.
Sebab menurut William Liddle, sebagaimana dikutip oleh Eep Saefullah Fatah dalam pengantarnya, hubungan dekat antara Islam dan negara di era akhir pemerintahan orde baru adalah akibat dari pergeseran kecenderungan di tingkat elit politik bukan akibat dari proses Islamisasi di tengah masyarakat secara luas. Hal senada juga dipaparkan oleh Schwarz mengenai apa yang disebut dengan kebangkitan Islam (Islamic revivalism) dalam politik Orde Baru kontemporer. Ia melihat ICMI sebagai pusat kekuasaan baru dengan B.J. Habibie sebagai gantungan politiknya, dan tidak sebagai representasi naiknya politik Islam.
Eep juga menggambarkan nasib ‘tragis' politik Islam yang selalu terjebak dalam pusaran; bergumul dengan dirinya sendiri dan menelan kekalahan pada semua pihak, lantaran tidak terkelolanya fragmentasi, disintegrasi dan lemahnya jaringan politik di antara mereka. Akibatnya, umat Islam senantiasa mengalami marginalisasi sosial, ekonomi dan politik. Berbagai kekeliruan politik itu disebut olehnya sebagai sebuah “fenomena gigantisme”; fisik besar, tapi sebenarnya penuh penyakit. Oleh karena itu, sebagai pilihan terbaik bagi masa depan politik umat Islam yang gemilang adalah sebuah arus balik.
Kekhawatiran senada juga dipaparkan oleh Mas Kunto ---panggilan akrab Kuntowijoyo--- yang selalu mewanti-wanti akan politik atas nama agama. Sebab politik itu berdimensi tunggal sementara agama berdimensi banyak. Politik hanya bagian sangat kecil dari agama, sepersekiannya. Bila pada akhirnya menjadikan agama sebagai sebuah politik, maka yang terjadi adalah sebuah reduksi besar-besaran atas makna agama. Politik akan mengakhiri sifat multi-dimensi agama. Baginya, agama yang hanya sampai di tingkat ormas (sebagaimana NU dan Muhammadiyah) tak berarti agama itu banci, mandul dan impoten. Banyak cara untuk mengekspresikan kepedulian pada bidang politik, tanpa simbol-simbol keagamaan. Agama hanya sampai ke tingkat ormas ialah untuk menjaga jangan sampai agama kena getah politik. Sebab keberadaan parpol itu hanya timbul-tenggelam, bisa jadi sekarang mayoritas besok minoritas (hal.121-125).
Bagi Cak Nur, salah satu ide yang amat kuat dalam wawasan politik modern ialah terbentuknya negara hukum (recht staat) dan mencegah tumbuhnya negara kekuasaan (macht staat). Maka dari itu, baginya posisi Islam dalam politik modern adalah bagaimana menghidupkan dan meneguhkan kembali nilai-nilai tersebut, serta nilai keislaman klasik (salaf) yang murni, dan kemudian menerjemahkannya dalam konteks ruang dan waktu yang ada (hal.81). Jiwa ajaran Islam adalah yang paling dekat dengan segi-segi positif modernitas. Oleh karena itu keberadaan partai atas nama agama bukanlah suatu modernitas, karena hanya akan lebih menyuburkan praktik simbolisme dalam kehidupan beragama.
Sedang dalam pandangan Abu Zahra, editor buku ini, politik perlu dipahami sebagai sesuatu yang berdimensi normatif—sebagaimana definisi umum agama—bukan materialistik. Politik harus dimaknai sebagai sebuah upaya manusia untuk meraih kesempurnaan dengan pengalamannya menuju maslahat, bukan dimaknai sebagai kekotoran (filthy) atau penuh intrik. Oleh karena itu berpolitik merupakan sesuatu yang inheren dengan kemanusiaan (hal.22-23). Ketika agama, politik, dan negara dipandang sebagai suatu kemanunggalan, simbolisasi agama tidak lagi menjadi sebuah keharusan. Ia menafikan sarat bahwa sebuah pemerintahan harus dipimpin orang yang ber-KTP Islam. Karena seorang non-Islam pada dasarnya bisa menjalankan pemerintahan Islam, jika ia menjalankan kekuasaan dengan landasan nilai-nilai kebenaran universal; menjalankan sistem yang transparan, adil, bijaksana, mengayomi, dan melakukan advokasi politik pada rakyat.
Buku ini memang sengaja dihadirkan di tengah campur-aduknya pendapat tentang eksistensi agama di dalam konstelasi politik Indonesia dewasa ini. Diberi judul “Politik Demi Tuhan” karena melihat arah politik Indonesia telah mulai menyentuh wilayah yang paling ‘sakral’, yakni Tuhan. Nama Tuhan telah menjadi ‘komoditas’ untuk memenuhi target politik (hal.32). Sebagai akibatnya, telah terjadi monopoli tafsir kebenaran.
Kesimpulan akhir dari buku ini --diantaranya-- adalah sebuah ide tentang “nasionalisme religius”, sebuah ide tentang pandangan peleburan perspektif keagamaan dalam kehidupan politik dan sosial. Artinya, agama harus mewarnai sistem perpolitikan, tanpa melalui simbolisasi keagamaan dalam struktur pemerintahan. Fenomena gugat-menggugat tentang Islam-tidaknya sebuah lembaga berdasarkan simbol yang disandangnya bukanlah persoalan krusial. Yang lebih urgen adalah mengkritisi dan menilai representasi keislaman lembaga (mana saja) pada substansi agenda-agenda besar yang dibawanya yaitu ‘kebenaran universal’. Sebab umat Islam lebih sering terjebak pada kekeliruan, yang lebih suka mengurusi “kulit” daripada “isi”. Seperti yang terjadi dengan labelisasi ‘halal’ di masa Orba. Kalangan umat Islam menyambut kebijakan itu dengan gempita. Jarang (bahkan hampir tidak ada) ada yang mengkritisi kebijakan itu dari konteks ekonomi politik dan transparansi-transparansi metodologis labelisasi. Hampir tidak terbaca berapa besar kolusi dan korupsi di balik ‘halalisasi’ itu.
Buku ini ditutup dengan epilog Eep Saefulloh Fatah, pengamat politik UI. Ia mengatakan bahwa Politik Islam potensial terjebak pada kekeliruan masa lalu. Kekeliruan itulah yang menjadi sebab terpenting dari kekalahan politik kalangan Islam selama ini. Oleh karena itu Ia mewanti-wanti dengan menawarkan agenda format baru politik Islam, agar tidak selalu dikecewakan akibat ‘kecerobohan’nya itu, yakni; menyokong reformasi menyeluruh, membangun publik yang aktif, dan membangun oposisi permanen.
Selamat membaca !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar