(Tulisan ini pernah dimuat di Harian Media Indonesia Tanggal 21 September 2001)
Ide yang bisa ditangkap dari tulisan Kharlie (Media Indonesia, 7/09/2001), adalah bahwa syariat Islam bisa diimplementasikan di negara ini berbarengan dengan program otonomi daerah. Tuntutan penerapan syariat hendaknya tidak terbatas pada Nangroe Aceh Darussalam, tapi bisa juga diterapkan di daerah-daerah di seluruh nusantara ini. Analisis Kharlie tersebut sangat lemah dilihat dari sisi teori dan kondisi empiriknya, karena sebenarnya implementasi syariat antara di era otonomi daerah maupun tidak, menghadapi kendala yang tidak jauh berbeda. Bahkan fenomena implementasi syariat ala Aceh Darussalam yang akan mendekati model pemerintahan Syiah-Iran masih banyak “digugat” di era mutakhir ini, terutama bila dikaitkan dengan kehidupan demokrasi. Selain itu, sebagai respon atas tuntutan tersebut (otonomi syariat), fenomena pengkotak-kotakkan daerah dalam bingkai keagamaan, bahkan kesukuan, dipastikan terjadi. Sebutlah misalnya Aceh adalah propinsi yang menerapkan syariat, maka Maluku akan menuntut juga sebagai propinsi orang Kristen, Bali sebagai propinsi orang Hindhu, dan (mungkin juga) Kalimantan sebagai propinsi orang Dayak, Jawa sebagai pulau khusus orang Jawa dan lain sebagainya. Ini justru lebih berbahaya bagi keutuhan bangsa ini.
Banyak kendala baik ideologis, empiris, maupun praktis, dalam penerapan syariat Islam ini, di tengah kompleksitas dan pluralitas bangsa ini. Apalagi tuntutan tersebut belum diikuti dengan penyusunan strategi dan organisasi yang rapi, serta tidak mempunyai arah yang jelas, karena tuntutan tersebut masih sekedar dalam dataran estimasi dan wacana. Harus disadari bahwa ada bahaya yang besar dalam mengartikulasikan ide tersebut bila diiringi oleh sikap ketergesa-gesaan. Karena persoalan tersebut pada akhirnya akan diselesaikan hanya di permukaan saja dan bangunan sosio-politik Islam akan mudah goyang. Hal itu akan menelan biaya kemanusiaan pada setiap individu.
Para penggagas syariat Islam agaknya juga melupakan kondisi riil (empiris) umat Islam sendiri. Meskipun syariat ini dipandang sedemikian penting dan menentukan, ternyata sebagian besar umat Islam Indonesia ini menolak pemberlakuan syariat secara menyeluruh. Tidaklah salah bila ada yang berpendapat bahwa sebagian besar syariat Islam di Indonesia saat ini merupakan proyeksi teoritis belaka, semacam sedang mengalami proses “fosilisasi” yang hampir selesai. Di sana-sini memang masih banyak didapati bekas-bekasnya, tapi dalam hampir semua manifestasi praktisnya yang masih ada, hukum Islam mengalami irelevansi secara berangsur-angsur namun pasti. Soal-soal perdata telah banyak dipengaruhi, diubah dan didesak oleh hukum perdata modern. Apalagi ketentuan-ketentuan pidananya, hampir secara keseluruhan telah diganti oleh hukum pidana modern. Masih hangat dalam benak kita, peristiwa eksekusi atas anggota lasykar jihad yang melakukan zina dihukum rajam—istilah bagi suatu hukuman yang dilempari dengan batu sampai mati—beberapa bulan yang lalu, mengakibatkan eksekutor-nya sendiri ditangkap aparat kepolisian dengan tuduhan melakukan tindak pidana. Karena aplikasi “syariat” tersebut dipandang bertentangan dengan hukum positif yang berlaku.
Apalagi hukum ketatanegaraan dan internasionalnya, hampir-hampir sudah tidak diketahui lagi di mana rimbanya. Kini, yang tersisa dari syariat Islam hanyalah persoalan ibadat yang masih mendapat tempat sepenuhnya dalam kehidupan, itupun dalam kadar dan intensitas yang semakin berkurang, dan lebih banyak bergantung kepada kemauan perorangan para pemeluk (agama) Islam yang taat.
Dalam hal demikian, laik dipertanyakan bahwa masihkah bisa dipertahankan kebenaran klaim hukum Islam sebagai penentu pandangan hidup dan tingkah laku para muslimin di nusantara ini? Apakah yang dapat dilakukan syariat jika tidak memiliki relevansi dalam kehidupan di masa modern?
***
Implementasi syariat (hukum) Islam secara penuh memang masih menjadi slogan perjuangan yang memiliki appeal cukup besar, meskipun sekedar dalam dataran angan-angan akan sistem kenegaraan Islam. Akan tetapi estimasi tersebut harus ditegakkan di masa depan, betapapun jauhnya masa depan itu sendiri berada dalam perspektif sejarah. Hanya dengan keyakinan yang membara bahwa Islam adalah sebuah sistem kemasyarakatan yang harus didirikan di Nusantara ini, tidaklah cukup. Sebab massa Islam sendiri belum banyak memahami permasalahan ini, karena terbukti hampir semua gerakan Islam tidak mampu melakukan mobilisasi kekuatan massal untuk mendukung gagasan tersebut. Malah sebagian besar kaum muslimin lebih cenderung hanya menggelorakan kesadaran berbangsa dalam artian “yang umum” dari pada memperjuangkan pemberlakukan syariat secara legal-formal. Kenyataan itu juga terbukti tiadanya respon tertulis maupun terorganisir secara rapi.
Sementara dalam mencermati kondisi perkembangan dunia yang pesat ini, Islam diposisikan sebagai semacam “pos pertahanan” an sich sekedar untuk mempertahankan identitasnya dari pengaruh non-Islam ataupun yang bersifat sekuler. Sikap yang demikian sebenarnya malah menunjukkan watak ke-statis-an hukum Islam sendiri. Hukum Islam hanya berperan negatif dalam kehidupan hukum di negeri kita ini. Karena sebagai penahan laju proses sekularisasi kehidupan yang berlangsung semakin merata, hukum Islam tak dapat berperan banyak, dibatasi dan diikat oleh sifat bertahannya. Apalagi peran itu sebagian besar bercorak represif, melarang ini dan menentang itu, alih-alih memberikan solusi. Dengan kata lain hukum Islam barulah berkarya ketika menolak kemungkaran, kebatilan dan kemaksiatan.
Jadi corak pemikiran hukum Islam yang ditawarkan para pejuang syariat masih bersifat apologetis, yang menggambarkan tatanan ideal mencapai kebahagiaan kehidupan duniawi dan ukhrawi—yang merupakan bentuk kota Tuhan (civitas Dei)—yang masih jauh dari jangkauan masa kini. Padahal kondisi riil membutuhkan pemecahan yang segera.
Akibat lain, impelementasi syariat juga akan berdampak pada maraknya pemakaian simbol-simbol agama. Itulah yang dimaksud dengan penyelesaian tuntutan syariat hanya akan dipenuhi di “permukaan saja,” tanpa menyentuh hal-hal yang prinsipil. Bahkan dalam bidang politik, dengan agama sebagai dasar politik akan mengkooptasi kebebasan pemikiran dan kebudayaan. Agama akan melakukan pemasungan dan penggelapan terhadap tradisi kebebasan berpikir (ijtihad). Dan itu berarti bertentangan dengan seruan agama sendiri. Bahkan kadang yang terjadi pendekatan militeristik tidak segan-segan diterapkan—dengan tetap mengatasnamakan agama—sebagai jalan terbaik untuk membatasi elaborasi pemikiran. Maka tak heran bila Muhammad Abduh pernah mengatakan audzu billahi minas syaithani wa al-siyasah (“aku berlindung dari setan dan politik”). Karena politisasi agama cenderung bersifat destruktif dan membuyarkan tatanan pemikiran (Afkar, edisi 10/2001).
Dengan demikian, keinginan mengaplikasikan syariat Islam secara legal-formal ataupun konstitusional baik di era otonomi daerah atau tidak—juga pernah dikatakan oleh Eickelman dan Piscatori (1996:5)—akan melahirkan dampak negatif. Eickelman pernah mensinyalir bahwa dampak tersebut di antaranya adalah terjadinya perebutan penafsiran terhadap simbol-simbol. Padahal sebagian besar ajaran Islam adalah simbol-simbol. Dan simbol-simbol keagamaan akan menjadi komoditas kampanye politik yang paling efektif. Konsekwesi lainnya akan ada upaya-upaya penguasaan terhadap lembaga-lembaga yang melahirkan dan mempertahankan syariat baik formal maupun informal. Pertarungan antar “ulama” baik yang berada dalam jalur struktural maupun di jalur kultural untuk mendefinisikan Islam tidak bisa dihindari lagi. Selain itu juga, aspek penyeragaman melalui institusi negara tidak akan terelakkan, dan itu berarti akan mematikan kreativitas intelektual dalam belantika pemikiran keagamaan.
Sementara dilihat dari problem praktisnya, bangsa ini terutama umat Islam belum merasa siap untuk menerima implementasi syariatnya sendiri. Bahkan bila dicermati lebih mendalam, semenjak dahulu hingga sekarang, yang paling gencar menolak usulan implementasi syariat juga berasal dari kalangan Islam sendiri. Hal seperti ini perlu dipahami, bahwa timbulnya reaksi penolakan ini mempunyai akar historis yang panjang. Oleh karena itu pribumisasi dan sosialisasi syariat Islam sebenarnya harus dijadikan prioritas utama bagi para pejuang implementasi syariat. Jalan ini merupakan jalan yang terbaik dan elegan sebelum syariat benar-benar diaplikasikan, dibanding kita ngotot memaksakan pemberlakuan syariat sementara pemeluknya sendiri belum siap.
Jadi, keinginan untuk memberlakukan syariat diperlukan strategi perjuangan yang arif, bertahap dan teratur. Sehingga akan melahirkan kondisi bangunan sosio-politik Islam yang kuat dan kokoh. Dengan demikian, ketika syariat diberlakukan segala komponen masyarakat telah siap menerima dan menjalankannya.
Wallahu a’lamu bis shawab.
saya lebih setuju jika syariat diformalkan. ada kepuasan gitu lhoo..
BalasHapus