Seorang peneliti sebenarnya memegang peran penting dalam proses kesempurnaan hidup ini. Sebab, segala tindakan harus didahului oleh sebuah penelitian. Termasuk di dalamnya adalah kebijakan. Karena, sebuah kebijakan sangat terkait erat dengan nasib manusia banyak.
Untuk itu, ada beberapa "pakem" bagi seorang peneliti yang harus dipenuhi dan menjadi acuan di dalamnya:
1.Brain (kecerdasan); kemampuan penalaran yang memadai termasuk di antaranya kreativitas dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ditemui di lapangan. Seorang peneliti mutlak mempunyai kecerdasan ini. Sebagai contoh, dalam pengambilan sampel dengan model systematik sampling, lalu dalam kenyataannya malah menemukan kuburan atau rumah kosong, padahal sampel yang diinginkan adalah manusia atau seseorang yang tinggal menetap di tempat sebagaimana diprediksi sebelumnya, bagaimana seorang peneliti harus bersikap? Contoh lain adalah dalam memilih strategi agar dapat menjaring informan/responden atau agar informan mau mengungkapkan semua yang diperlukan peneliti.
2.ability (kemampuan); terutama dalam hal pemahaman teknik penelitian yang didasari oleh pemahaman metodologis yang memadai. Metodologi sangat menentukan kualitas hasil penelitian. Apakah dengan metodologi tersebut, hipotesisnya bisa teruji ataukah tidak, dst. Pada penelitian-penelitian di PTAIN, tampaknya lebih banyak menyederhanakan metodologi ini. Hal ini tampak dalam kualitas penelitian yang dihasilkannya.
Syarat ini ibarat pisau, semakin di asah, semakin tajam. Sebaliknya, seorang dosen yang jarang meneliti, makin sulit untuk melakukan penelitian dan akan kebingungan memilih metodologi yang tepat.
3.Bravery (keberanian); yakni berani memasuki kancah riset; maupun keberanian menanggung segala resiko yang mungkin terjadi. Bravery terkait dengan skill ketika belajar megatasi kesulitan-kesulitan selama dan pasca penelitian. Misalkan, seseorang yang melakukan penelitian ke lingkungan pelacuran dengan pendekatan partisipatif, maka mau tidak mau seorang peneliti harus tinggal bersama mereka. Klaim masyarakat akan seorang peneliti demikian bisa muncul bermacam-macam. Kadang dia akan dituduh telah berzina, atau tuduhan minor lainnya. Setelah melakukan penelitian, stereotype seperti itupun kadang sulit untuk dihilangkan.
4.Honesty (kejujuran); kejujuran pembuktiannya. Kejujuran ini tidak hanya dalam tingkat otentisitas tulisannya, namun juga kejujuran pemenuhan model metodologi yang dipergunakannya. Termasuk di dalamnya adalah kemauan mengkaji hasil tulisan atau penelitian yang dilakukan sebelumnya. Terkadang, hasil sebuah penelitian menampilkan hasil yang cukup bombastis. Seperti yang pernah dilakukan oleh Iip Wijanarko yang Menguat realitas perilaku seks kalangan terpelajar di Yogyakarta, menyebutkan bahwa sebanyak 97,5% kalangan terpelajar di Yogyakarta telah berhubungan seks di luar nikah. Hasil ini diekspose ke luar sehingga menggemparkan kota Yogyakarta. Padahal di lihat dari metodologi, hasil tersebut tidak bisa digeneralisir dan seharusnya jangan dipublikasikan tanpa menyebut bentuk metodologi yang dipergunakannya.
5. ethics; menjunjung tinggi kode etik masyarakat. Artinya, seorang peneliti yang terjun meneliti—misalkan—ke dalam masyarakat pelacur, bukan berarti dia boleh melakukan pelacuran/berzina. Karena itu, selain bertentangan dengan masyarakat, juga bertentangan dengan ajaran agama. Tidak hanya sampai di situ. Keterlibatan seorang peneliti sejati juga harus sedari awal hingga proses pengumpulan data dan analisis data. Etika penelitian tidak membenarkan adanya ”order” penyelesaian penelitian. Karena dimungkinkan akan ada keterputusan ”ide” dan semangat awal pelaksanaan penelitian.
6. relationship; Seorang peneliti harus senantiasa membina hubungan dengan masyarakat yang pernah menjadi objek peneliti (subjek penelitian). Karena, seorang peneliti tersebut lebih mengetahui persoalan yang dihadapi masyarakat. Dengan demikian, dia menjadi bagian dari masyarakat yang ikut memperbaiki dan mengatasi permasalahan yang dihadapi masyarakat. Seperti halnya yang pernah dilakukan oleh Romo Mangunwijaya yang meneliti di masyarakat pinggiran kali di Yogyakarta. Beliau terus membinanya dan menjadi masyarakat yang berperadaban.
7. tidak hedonis. Maksudnya adalah, seorang peneliti tidak melakukan penelitian berdasar kepentingan si peneliti an sich dan materi, namun hendaknya ada kelanjutan setelah penelitian. Entah itu menyelesaikan persoalan ataupun memberi masukan kepada masyarakat dan si peneliti melakukan fasilitasi terhadap mereka. Untuk itu penelitian seharusnya bervisi jangka panjang dan tidak hanya berorientasi ekonomi materialistik jangka pendek. Sebab, jika demikian maka penelitian cenderung akan dilakukan dengan ceroboh dan manipulatif.
8. Follow up. Tindak lanjut sangat penting. Untuk itu seyogyanya sebuah penelitian studi kebijakan harus menghasilkan rekomendasi yang kemudian dikirimkan kepada instansi terkait yang direkomendasikan. Kritik terhadap penelitian yang positivistik salah satunya adalah karena hanya berhenti pada tahap rekomendasi, dan menyerahkan penyelesaiannya kepada pihak lain. Padahal, jika si penelitia yang menangani kelanjutannya, hemat penulis akan lebih maksimal hasilnya.
9.Peneliti harus melepaskan diri dari kecenderungan dan keberpihakan. Karena akan berakibat memunculkan ”manipulasi” data—dan kadang dipaksakan untuk—sesuai dengan ”pesanan” sponsorship.
Dalam bahasa Sutrisno Hadi, seorang peneliti harus memenuhi syarat-syarat di bawah ini:
1.berkompeten dalam bidangnya, artinya secara teknik menguasai dan mampu menyelenggarakan riset secara ilmiah.
2.peneliti harus bersifat obyektif
3.peneliti harus jujur. Artinya peneliti tidak mencampuradukkan pendapat dirinya ke dalam fakta-fakta.
4.peneliti harus faktual. Artinya bekerja dan berbicara harus dengan fakta-fakta
5.peneliti harus terbuka, dalam arti dia harus memberikan kesempatan kepada orang lain untuk menguji kebenaran dari proses dan atau hasil penyelidikannya.
Para peneliti merumuskan karakter ideal bagi seorang peneliti memang tidak jauh dari paparan di atas. Supriyo Ambar mengutip pemaparan Achmad Baihaqi yang mengemukakan karakter peneliti yang sebenarnya adalah di bawah ini:
1.memiliki kemampuan dan daya pikir yang tinggi
2.memiliki kejujuran intelektual
3.memiliki cukup kemampuan untuk memahami dan mengingat informasi, fakta dan data
4.mampu berkomunikasi baik secara lisan dan tulisan
5.berpikir kritis
6.bertindak proaktif, responsif dan antisipatif terhadap suatu masalah
7.memiliki rasa ingin tahu yang tinggi
8.memiliki ketelitian, ketekunan dan produktif
9.memiliki kesabaran
10.sistematis dalam bekerja dan rapi
11.tidak mudah menyerah, berperilaku optimis dan positif
12.memiliki kecintaan terhadap pekerjaannya
13.menghargai karya dan pekerjaan orang lain
Sebenarnya yang paling perlu diperhatikan dalam etika penelitian ini adalah jangan sampai terjadi malalaku (misconduct). Malalaku ini menyangkut ketaatan seorang peneliti dalam menghindari penyimpangan pelaksanaan penelitian yang tidak etis, termasuk rekaan, pemalsuan darai, plagiatisme, manipulasi, dan lain sebagainya. Prof. Dr. Ing H. Faraz Umar mengajukan butir-butir yang perlu ditanggapi serius dalam kasus plagiarism ini.
“…di PT besar terkenal di Indonesia sebagai reviewer penelitian Hibah bersaing, ternyata Ketua Lembaga Penelitian PT ybs mencabut proposal penelitian atas nama Mr X, karena ada pengaduan bahwa proposal tersebut hak Mr X yang mengadukan ke PT tersebut”
Sampai Manakah Batas Plagiarisme?
Banyak yang belum paham batas-batas plagiasi ini. Disebut satu jiplakan utuh, jika penjiplakan terjadi seratus persen dan hanya mengubah nama pengarang atau judul. Bisa pula, suatu plagiat merupakan suatu karya yang bersifat ‘heavily referenced’ dari suatu karya orang lain.
Sebenarnya, proses ‘meniru dan mengembangkan’ ini adalah bentuk terkecil dari “plagiasi”. Artinya, jika seorang mengambil ide dari orang lain kemudian dia mengembangkan sebenarnya termasuk jenis plagiasi. Namun, etika penelitian dan penulisan membuat batasan dan aturan tertentu untuk mengurangi “kuantitas” plagiasi tersebut dengan memberikan ketentuan perlunya “ucapan terima kasih, referensi, sitasi, catatan kaki, catatan belakang, dan sebagainya.” Sebetulnya ini semua adalah sarana untuk mengakui bahwa yang bersangkutan memakai karya orang lain yang kemudian dikembangkan sendiri.
Jika adanya ucapan terima kasih, catatan kaki, dan sejenisnya itu dilakukan, maka menurut Rusdi Muchtar, hal itu tidak termasuk ke dalam plagiasi.
Plagiasi yang tak terkendalikan sudah pasti merusak nama baik peneliti. Bahkan, martabat institusi di mana si peneliti bekerja bisa terkena getahnya. Untuk itu, anti plagiasi harus digerakkan dan disosialisasikan terus menerus dan berkesinambungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar