Sabtu, Juli 09, 2022

Ibadah Haji Dan Qurban; Napak Tilas Perjalanan Nabi Ibrahim


الله اكبر 9
x كبيرا والحمد لله كثيرا وسبحان الله بكرة و اصيلا  لا اله الا الله اكبر, الله اكبر ولله الحمد. الحمد لله له الملك وله الحمد وهو عل كل شيء قدير. الذي خلق الموت والحياة ليبلوكم ايكم احسن عملا وهو العزيز الغفور. أََشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ, اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى الرَّسُوْلِ الشَّفِيْعِ الْعَظْيْمِ سَيِّدِنَا وَمَوْلاَنَا مُحَمَّدٍ (ص) وَعَلىَ آلِهِ وَاَصْحَابِهِ اَجْمَعِيْنَ, اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِنْ التَّوَّابِينَ وَاجْعَلْنِي مِنْ الْمُتَطَهِّرِينَ (اما بعد) فَيَا أَيُّهاَ الْمُسْلِمُوْنَ, اتَّقِ اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعْ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ وَقاَلَ اللهُ تَعَالَى فِى كِتَابِهِ

وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ(27)لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ

Sidang Jamaah Shalat Idul Adha Rahimakumullah

Setelah khatib menyampaikan puji syukur kepada Allah Swt atas segala nikmat yang kita semua terimda yang tiada terkira dan dilanjutkan shalawat kepada baginda Rasulullah Saw, khatib tak bosan-bosannya untuk mengingatkan kita semua agar senantiasa meningkatkan kualitas ketakwaan kita dengan bukti menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi lara ngan-Nya. 

Allahu Akbar Walillahil Hamd

Sejak hari kemarin, sejumlah ummat Islam di dunia bersama-sama mengumandangkan takbir, Allahu akbar3x, mengagungkan nama Allah Swt sekaligus bersyukur dalam rangka Idul Adha (hari raya kurban). Sedangkan yang menunaikan ibadah haji mengumandangkan talbiyah menjawab panggilan-Nya. Labbaikallahumma Labbaik…

Jamaah Idul Adha Rahimakumullah

Ibadah Haji dan ibadah qurban merupakan program “napak tilas” pendiri monotheisme dunia, Nabiyullah Ibrahim a.s., khalilullah, sang kekasih Allah Swt sebagai suatu jalan untuk menemukan kembali fitrah manusia itu sendiri. Ia bukan hanya sekedar ritual ibadah yang berdimensi individual, tapi juga berdimensi sosial. Ibadah haji adalah deklarasi kepercayaan, sebuah proses reformasi diri, serta motivasi untuk lebih menguatkan semangat pengabdian kepada Allah Swt. Perjalanan Panjang Nabi Ibrahim mencari Tuhannya, dengan melihat gejala-gejala alam; terbit dan tenggelamnya bintang, bulan dan matahari, sampai ia berkesimpulan menuju pada Zat yang satu. Setelah menemukan tuhannya, ia menjalankan perintah Allah Swt tanpa ada penolakan sedikitpun; mulai dari meninggalkan istri dan putra tercintanya di tengah gurun nan gersang, hingga mengorbankan putranya, Ismail as ketika menjelang dewasa, demi bakti dan pengabdiannya kepada Allah Swt.

Allahu Akbar Walillahil Hamd

Ibadah haji adalah sebuah ‘keberangkatan’; bukan hanya suatu perpindahan geografis dari satu titik ke titik lainnya dalam waktu tertentu (yakni dari Indonesia ke Makkah, dari bukit Shafa ke marwa, dan lain sebagainya), bukan juga perpisahan sesaat dari seorang pengelana modern yang hanya menurutkan rasa ingin tahu; melainkan juga merupakan suatu keterputusan batiniah dengan diri sendiri, dengan dunia ‘rumah’ yang sudah begitu akrab dengan kebiasaan-kebiasaan yang sudah mapan. Memaknai haji dan qurban secara tidak tepat, maka haji dan qurban menjadi sebuah ritual yang hampa akan makna.

Akibatnya, jika kita tidak hati-hati, ibadah haji menjadi tidak berbeda dengan aktifitas penyembahan terhadap batu (benda mati), atau berkeliling mengkultuskan sebuah bangunan sederhana (yakni ka’bah).

Allahu Akbar Walillahil Hamd

Allah swt telah berfirman dalam QS Al-Baqarah [2]: 189

وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

….Bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah orang yang bertakwa…

Ayat ini dipahami bahwa ibadah haji bukanlah ritualitas fisik belaka, masuk dan keluar, pindah dari satu tempat ke tempat lain, namun jauh lebih dalam dari itu semua, yakni dalam rangka menggapai makna ketakwaan sejati.

Kaum Muslimin Rahimakumullah

Ibadah haji harus sarat makna yang lebih mendasar bagi para pelakunya. Acara-acara ibadah/ritual dan non ritualnya serta kewajiban atau larangan yang diberlakukan, baik secara nyata dan simbolik, dapat mengantarkan jamaah pada satu tujuan hidup dengan pengamalan dan pengalaman kemanusiaan yang lebih menunjukkan makna hakikat agama, yang pada akhirnya pemahaman ini akan merealisasikan dan menunjukkan agama Islam betul--betul sebagai rahmatan lil 'alamin.

Makna ibadah haji akan menjadi lebih jelas lagi bila ditempatkan pada perspektif gerakan kemanusiaan, yang mengibarkan lambang abadi dari pesan kebersamaan dan kesetaraan derajat antar sesama manusia.

Ibadah haji merupakan contoh ibadah yang memosisikan manusia secara setara, ‘tanpa perbedaan status sosial’.

Ini tersirat dari firman Allah Swt:

وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ(27)لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ

Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfa`at bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. (QS Al-Hajj: 27-28)

 

Jamaah Rahimakumullah

Mari kita cermati contohnya satu persatu. Seorang muslim yang hendak berhaji harus mulai rela meninggalkan rumah, status sosial, dan segala kenikmatannya untuk menuju baitullah. Karena Tuhan tidak bisa didekati kecuali dengan meninggalkan seluruh ego kita.

Proses ibadah haji sejak miqat makani, yang ditandai dengan memakai kain ihram, mengandung makna yang signifikan bagi terwujudnya masyarakat tanpa perbedaan status sosial. Manusia harus melepaskan seluruh pakaian kesehariannya. Sejak saat itu, terlarang untuk terlalu bangga dengan status dan jabatannya; umat harus meninggalkannya menuju persamaan antar sesama.

Pakaian menyimbolkan perbedaan status sosial, pola dan preferensi seseorang. Pakaian juga menutupi watak manusia dan dirinya dari aslinya. Pakaian juga berpengaruh secara psikologis kepada pemakainya. Oleh karena itu, inilah awal pemisahan segala perbedaan dan awal menuju komunitas anti-struktur.

Kemudian ketika melaksanakan wukuf  (berdiam) di Padang Arafah, seluruh jamaah melakukan perenungan terhadap jati dirinya dan menyadari siapa dirinya; segala sesuatu adalah sama di hadapan Allah dan Allah tidaklah akan melihat status sosialnya. Kesadaran ini akan membawa manusia akan semakin arif dalam segala tindak tanduknya.

Itulah yang ditunjukkan oleh Kholilullah, dengan penghancuran tempat pemujaan (dalam bentuk berhala) dan bahkan harus rela mengorbankan apa yang dimilikinya yakni anak dan istri demi cintanya pada Allah Swt. Istrinya, Siti Hajar dan putranya harus ditinggalkan di tengah padang pasir nan gersang Bersama anaknya, Ismail a.s. Dan Ketika menginjak dewasa, harus dikorbankan karena perintah Allah Swt. Itulah kemudian yang menjadi syariat ibadah Kurban. 

Jamaah Rahimakumullah

Sayangnya, praktik ibadah haji sekarang ini kering dari nilai itu semua. Ibadah haji mengalami pembedaan secara praktik dan ideologi yang berdasarkan kelas sosial. Ibadah yang pada awalnya mengandung nilai mulia itu, telah menjadi ibadah yang menampilkan jurang perbedaan status sosial yang tajam. Di satu sisi, kaum elit pedesaan melaksanakan ibadah haji dengan sederhana dan ala kadarnya, yang kemudian diistilahkan dengan haji biasa. Sementara, kaum elit perkotaan melaksanakan ibadah haji  dengan perlakuan istimewa dan cepat yang biasa disebut dengan haji plus. Di sana ditawarkan hotel-hotel berbintang, transportasi dengan bus-bus ber-AC dan sarana-sarana lainnya.

Kaum elit mulai senang berhaji seraya menampakkan simbol-simbol keelitan dan keislamannya. Mereka mulai menampakkan identitas “kehajjiannya” meskipun dengan amalan-amalan terbatas. Mereka mulai terjebak dalam baju-baju haji dan simbol-simbol keagamaan yang semu, menganggap berhaji hanya untuk mendapatkan peci putih beserta surbannya. Akhirnya banyak orang yang mengaku dirinya “haji”, tapi bersamaan dengan itu juga mereka “rajin” menzalimi orang lain, dan lain sebagainya.

Jamaah Shalat Id yang dimulyakan Allah

Barangkali itulah yang menjadikan kisah tokoh sufi dan muhaddis, Abdullah bin Mubarak. Kisahnya dimulai dari mimpi al-Imam Abdullah bin Mubarak di satu malam, dimana ia dalam mimpinya melihat dua orang yang saling berbicara. Yang satu mengatakan, “tahukah kamu tahun ini berapa orang yang Allah terima hajinya?” Orang kedua menjawab: “Tidak!” Yang bertanya tadi kemudian mengatakan: “Tahun ini, banyak dari orang yang berhaji tidak diterima hajinya. Tapi, Allah kemudian memaafkan mereka semua lalu menerima hajinya dengan kemuliaan seorang tukang sepatu di daerah Syam meskipun dia tidak berangkat haji.”

Setelah mendengar dialog itu, Ibn Mubarak terbangun kaget dan tidak bisa tidur.

Esoknya ia berangkat mencari ke Syam siapa sebenarnya tukang sepatu ini, padahal ia tidak tahu namanya. Singkat cerita Abdullah bin Mubarak menemukan tukang sepatu tersebut. Beliau langsung bertanya, “wahai tukang sepatu, anda berhaji tahun ini?” Tukang sepatu menjawab: “tidak.” Abdullah bin Mubarak pun bertanya lagi, “kalau gitu, ceritakan peristiwa tentangmu!”

Tukang sepatu bertanya lagi, “memangnya kenapa?”

Abdullah bin Mubarak meyakinkannya dengan mengatakan, “berceritalah, nanti saya akan menjelaskan alasannya.”

Tukang sepatu pun mulai bercerita, “pekerjaan saya tukang sepatu. Sejak awal tahun ini, saya mulai menyisihkan pendapatan saya sedikit-sedikit supaya bisa berhaji di akhir tahun atau tahun sesudahnya. Ketika sudah hampir memasuki musim haji, saya melihat harta saya sudah cukup untuk berangkat haji. Saya pun mulai mempersiapkan segala hal, sampai setelah itu saya kembali ke rumah dan istri saya yang sedang hamil menemui saya. Lalu tercium bau daging panggang yang nikmat sekali masuk ke dalam rumah. Istri saya kemudian langsung memberikan piring dan bilang, “coba minta perkenan tetangga kita yang memasak ini agar memberikan sedikit ke kita.” Saya pun setuju dan keluar mencari sumber bau itu, dan tiba di sebuah rumah. Ketika pintunya dibuka, keluarlah seorang perempuan tua. Saya pun menyampaikan keinginan saya. Ia terdiam sejenak, lalu berkata, “baik, saya akan berikan. Tapi boleh saya menceritakan kisahku. Saya rasa engkau perlu mengetahui ini, kalau menurut anda kisah ini baik, saya akan memberikan daging panggangnya.” Saya pun mengiyakan. Perempuan itu pun cerita, suaminya sudah meninggal lama. Dan harta mereka baru saja habis seminggu sebelumnya. Anak-anaknya hari ini sudah mulai kelaparan. Perempuan itu pun keluar mencoba barangkali menemukan sesuatu yang bisa dimakan, sampai ia menemukan ada kambing mati di suatu tempat pembuangan. Naluri keibuannya bangkit, sang perempuan mencoba mengambil sebagian daging dan membawanya pulang untuk dimasak dan itulah dagingnya.

Aku pun segera pulang, menampar-nampar wajahku sendiri dan menyalahkan diriku. Ini tetanggaku masih membutuhkan dan anak-anak bahkan hampir mati sementara aku sejak kemarin terus mengumpulkan harta untuk berhaji. Aku pun pulang mengambil harta itu, dan kembali ke rumah perempuan itu dan menyedekahkan semua hartaku untuknya.”

Abdullah bin Mubarak pun berkata, “Berbahagialah engkau, Allah tidak hanya mencatatmu sebagai seorang haji saja, tapi karenamu Allah menerima ibadah haji semua orang di tahun ini.” Kisah ini disebut sumbernya dapat ditemukan dalam al-Bidayah wa an-Nihayah karya Ibn Katsir.

Allahu Akbar walillahilhamd

Ibadah haji itu mencerminkan kepulangan secara mutlak kepada Allah yang tidak memiliki keterbatasan. Pulang kepada Tuhan  adalah sebuah gerakan menuju kesempurnaan, kebaikan, kemudahan kekuatan nilai dan fakta. Dengan melakukan perjalanan keabadian ini manusia memang tidak akan pernah ‘sampai’ kepada-Nya. Tetapi ini merupakan manivestasi dari perjalanan “menghampiri”-Nya.

Semoga kita bisa istiqamah mempertahankan tradisi baik yang telah dibangun Nabiyullah Ibarahim a.s.

بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِى الْقُرْآنِ اْلكَرِيْمِ وَنَفَعَنِى وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلاَيَاتِ وَذِكْرِ اْلحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنِّى وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ اِنَّهُ هُوَ اْلغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ, وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَاَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ



Tidak ada komentar:

Posting Komentar