الله اكبر 9x كبيرا والحمد لله كثيرا وسبحان الله بكرة و اصيلا لا اله الا الله اكبر, الله اكبر ولله الحمد. الحمد لله له الملك وله الحمد وهو عل كل شيء قدير. الذي خلق الموت والحياة ليبلوكم ايكم احسن عملا وهو العزيز الغفور. أََشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ, اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى الرَّسُوْلِ الشَّفِيْعِ الْعَظْيْمِ سَيِّدِنَا وَمَوْلاَنَا مُحَمَّدٍ (ص) وَعَلىَ آلِهِ وَاَصْحَابِهِ اَجْمَعِيْنَ, اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِنْ التَّوَّابِينَ وَاجْعَلْنِي مِنْ الْمُتَطَهِّرِينَ (اما بعد) فَيَا أَيُّهاَ الْمُسْلِمُوْنَ, اتَّقِ اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعْ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ وَقاَلَ اللهُ تَعَالَى فِى كِتَابِهِ
وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ(27)لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ
Sidang Jamaah Shalat Idul
Adha Rahimakumullah
Setelah khatib menyampaikan puji syukur kepada Allah Swt atas segala nikmat yang kita semua terimda yang tiada terkira dan dilanjutkan shalawat kepada baginda Rasulullah Saw, khatib tak bosan-bosannya untuk mengingatkan kita semua agar senantiasa meningkatkan kualitas ketakwaan kita dengan bukti menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi lara ngan-Nya.
Allahu Akbar Walillahil
Hamd
Sejak hari
kemarin, sejumlah ummat Islam di dunia bersama-sama mengumandangkan takbir, Allahu
akbar3x, mengagungkan nama Allah Swt sekaligus bersyukur dalam rangka Idul
Adha (hari raya kurban). Sedangkan yang menunaikan ibadah haji mengumandangkan
talbiyah menjawab panggilan-Nya. Labbaikallahumma Labbaik…
Jamaah Idul Adha
Rahimakumullah
Ibadah Haji dan ibadah qurban merupakan program “napak tilas” pendiri monotheisme dunia, Nabiyullah Ibrahim a.s., khalilullah, sang kekasih Allah Swt sebagai suatu jalan untuk menemukan kembali fitrah manusia itu sendiri. Ia bukan hanya sekedar ritual ibadah yang berdimensi individual, tapi juga berdimensi sosial. Ibadah haji adalah deklarasi kepercayaan, sebuah proses reformasi diri, serta motivasi untuk lebih menguatkan semangat pengabdian kepada Allah Swt. Perjalanan Panjang Nabi Ibrahim mencari Tuhannya, dengan melihat gejala-gejala alam; terbit dan tenggelamnya bintang, bulan dan matahari, sampai ia berkesimpulan menuju pada Zat yang satu. Setelah menemukan tuhannya, ia menjalankan perintah Allah Swt tanpa ada penolakan sedikitpun; mulai dari meninggalkan istri dan putra tercintanya di tengah gurun nan gersang, hingga mengorbankan putranya, Ismail as ketika menjelang dewasa, demi bakti dan pengabdiannya kepada Allah Swt.
Allahu Akbar Walillahil
Hamd
Ibadah haji adalah
sebuah ‘keberangkatan’; bukan hanya suatu perpindahan geografis dari
satu titik ke titik lainnya dalam waktu tertentu (yakni dari Indonesia ke
Makkah, dari bukit Shafa ke marwa, dan lain sebagainya), bukan juga perpisahan
sesaat dari seorang pengelana modern yang hanya menurutkan rasa ingin tahu;
melainkan juga merupakan suatu keterputusan batiniah dengan diri sendiri,
dengan dunia ‘rumah’ yang sudah begitu akrab dengan kebiasaan-kebiasaan yang
sudah mapan. Memaknai haji dan qurban secara tidak tepat, maka haji dan qurban menjadi
sebuah ritual yang hampa akan makna.
Akibatnya, jika
kita tidak hati-hati, ibadah haji menjadi tidak berbeda dengan aktifitas penyembahan
terhadap batu (benda mati), atau berkeliling mengkultuskan sebuah bangunan
sederhana (yakni ka’bah).
Allahu
Akbar Walillahil Hamd
Allah swt telah berfirman dalam QS Al-Baqarah [2]: 189
وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ
مِنْ ظُهُورِهَا وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ
أَبْوَابِهَا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
….Bukanlah kebajikan
memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah orang
yang bertakwa…
Ayat ini dipahami bahwa ibadah haji
bukanlah ritualitas fisik belaka, masuk dan keluar, pindah dari satu tempat ke
tempat lain, namun jauh lebih dalam dari itu semua, yakni dalam rangka
menggapai makna ketakwaan sejati.
Kaum
Muslimin Rahimakumullah
Ibadah haji harus
sarat makna yang lebih mendasar bagi para pelakunya. Acara-acara ibadah/ritual
dan non ritualnya serta kewajiban atau larangan yang diberlakukan, baik secara
nyata dan simbolik, dapat mengantarkan jamaah pada satu tujuan hidup dengan
pengamalan dan pengalaman kemanusiaan yang lebih menunjukkan makna hakikat agama,
yang pada akhirnya pemahaman ini akan merealisasikan dan menunjukkan agama
Islam betul--betul sebagai rahmatan lil 'alamin.
Makna ibadah haji akan menjadi lebih jelas
lagi bila ditempatkan pada perspektif gerakan kemanusiaan, yang mengibarkan
lambang abadi dari pesan kebersamaan dan kesetaraan derajat antar sesama
manusia.
Ibadah haji merupakan contoh ibadah yang memosisikan
manusia secara setara, ‘tanpa perbedaan status sosial’.
Ini tersirat dari firman Allah Swt:
وَأَذِّنْ
فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ
كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ(27)لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ
اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ
Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji,
niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta
yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai
manfa`at bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah
ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang
ternak. (QS Al-Hajj: 27-28)
Jamaah Rahimakumullah
Mari kita cermati contohnya satu persatu. Seorang
muslim yang hendak berhaji harus mulai rela meninggalkan rumah, status sosial,
dan segala kenikmatannya untuk menuju baitullah. Karena Tuhan tidak bisa
didekati kecuali dengan meninggalkan seluruh ego kita.
Proses ibadah haji sejak
miqat makani, yang ditandai dengan memakai kain ihram, mengandung makna
yang signifikan bagi terwujudnya masyarakat tanpa perbedaan status sosial. Manusia
harus melepaskan seluruh pakaian kesehariannya. Sejak saat itu, terlarang untuk
terlalu bangga dengan status dan jabatannya; umat harus meninggalkannya menuju
persamaan antar sesama.
Pakaian menyimbolkan
perbedaan status sosial, pola dan preferensi seseorang. Pakaian juga menutupi
watak manusia dan dirinya dari aslinya. Pakaian juga berpengaruh secara
psikologis kepada pemakainya. Oleh karena itu, inilah awal pemisahan segala
perbedaan dan awal menuju komunitas anti-struktur.
Kemudian ketika
melaksanakan wukuf (berdiam) di
Padang Arafah, seluruh jamaah melakukan perenungan terhadap jati dirinya dan
menyadari siapa dirinya; segala sesuatu adalah sama di hadapan Allah dan Allah
tidaklah akan melihat status sosialnya. Kesadaran ini akan membawa manusia akan semakin arif
dalam segala tindak tanduknya.
Itulah yang ditunjukkan oleh Kholilullah, dengan penghancuran tempat pemujaan (dalam bentuk berhala) dan bahkan harus rela mengorbankan apa yang dimilikinya yakni anak dan istri demi cintanya pada Allah Swt. Istrinya, Siti Hajar dan putranya harus ditinggalkan di tengah padang pasir nan gersang Bersama anaknya, Ismail a.s. Dan Ketika menginjak dewasa, harus dikorbankan karena perintah Allah Swt. Itulah kemudian yang menjadi syariat ibadah Kurban.
Jamaah Rahimakumullah
Sayangnya, praktik ibadah haji sekarang ini kering
dari nilai itu semua. Ibadah haji mengalami pembedaan secara praktik dan
ideologi yang berdasarkan kelas sosial. Ibadah yang pada awalnya mengandung
nilai mulia itu, telah menjadi ibadah yang menampilkan jurang perbedaan status
sosial yang tajam. Di satu sisi, kaum elit pedesaan melaksanakan ibadah haji
dengan sederhana dan ala kadarnya, yang kemudian diistilahkan dengan haji
biasa. Sementara, kaum elit perkotaan melaksanakan ibadah haji dengan perlakuan istimewa dan cepat yang
biasa disebut dengan haji plus. Di sana ditawarkan hotel-hotel
berbintang, transportasi dengan bus-bus ber-AC dan sarana-sarana lainnya.
Kaum elit mulai senang berhaji seraya
menampakkan simbol-simbol keelitan dan keislamannya. Mereka mulai menampakkan
identitas “kehajjiannya” meskipun dengan amalan-amalan terbatas. Mereka mulai
terjebak dalam baju-baju haji dan simbol-simbol keagamaan yang semu, menganggap
berhaji hanya untuk mendapatkan peci putih beserta surbannya. Akhirnya banyak orang
yang mengaku dirinya “haji”, tapi bersamaan dengan itu juga mereka “rajin” menzalimi
orang lain, dan lain sebagainya.
Jamaah Shalat Id yang
dimulyakan Allah
Barangkali
itulah yang menjadikan kisah tokoh sufi dan muhaddis, Abdullah bin Mubarak. Kisahnya dimulai dari mimpi al-Imam Abdullah
bin Mubarak di satu malam, dimana ia dalam mimpinya melihat dua orang yang
saling berbicara. Yang satu mengatakan, “tahukah
kamu tahun ini berapa orang yang Allah terima hajinya?” Orang kedua menjawab:
“Tidak!” Yang bertanya tadi kemudian mengatakan: “Tahun ini, banyak dari orang
yang berhaji tidak diterima hajinya. Tapi, Allah kemudian memaafkan mereka
semua lalu menerima hajinya dengan kemuliaan seorang tukang sepatu di daerah
Syam meskipun dia tidak berangkat haji.”
Setelah mendengar dialog itu, Ibn
Mubarak terbangun kaget dan tidak bisa tidur.
Esoknya ia berangkat mencari ke Syam siapa
sebenarnya tukang sepatu ini, padahal ia tidak tahu namanya. Singkat cerita
Abdullah bin Mubarak menemukan tukang sepatu tersebut. Beliau langsung
bertanya, “wahai tukang sepatu, anda berhaji tahun ini?” Tukang sepatu
menjawab: “tidak.” Abdullah bin Mubarak pun bertanya lagi, “kalau gitu,
ceritakan peristiwa tentangmu!”
Tukang sepatu bertanya lagi, “memangnya
kenapa?”
Abdullah bin Mubarak meyakinkannya dengan mengatakan,
“berceritalah, nanti saya akan menjelaskan alasannya.”
Tukang sepatu pun mulai bercerita, “pekerjaan
saya tukang sepatu. Sejak awal tahun ini, saya mulai menyisihkan pendapatan
saya sedikit-sedikit supaya bisa berhaji di akhir tahun atau tahun sesudahnya.
Ketika sudah hampir memasuki musim haji, saya melihat harta saya sudah cukup
untuk berangkat haji. Saya pun mulai mempersiapkan segala hal, sampai setelah
itu saya kembali ke rumah dan istri saya yang sedang hamil menemui saya. Lalu
tercium bau daging panggang yang nikmat sekali masuk ke dalam rumah. Istri saya
kemudian langsung memberikan piring dan bilang, “coba minta perkenan tetangga
kita yang memasak ini agar memberikan sedikit ke kita.” Saya pun setuju dan
keluar mencari sumber bau itu, dan tiba di sebuah rumah. Ketika pintunya
dibuka, keluarlah seorang perempuan tua. Saya pun menyampaikan keinginan saya.
Ia terdiam sejenak, lalu berkata, “baik, saya akan berikan. Tapi boleh saya
menceritakan kisahku. Saya rasa engkau perlu mengetahui ini, kalau menurut anda
kisah ini baik, saya akan memberikan daging panggangnya.” Saya pun mengiyakan.
Perempuan itu pun cerita, suaminya sudah meninggal lama. Dan harta mereka baru
saja habis seminggu sebelumnya. Anak-anaknya hari ini sudah mulai kelaparan. Perempuan
itu pun keluar mencoba barangkali menemukan sesuatu yang bisa dimakan, sampai
ia menemukan ada kambing mati di suatu tempat pembuangan. Naluri keibuannya
bangkit, sang perempuan mencoba mengambil sebagian daging dan membawanya pulang
untuk dimasak dan itulah dagingnya.
Aku pun segera pulang, menampar-nampar
wajahku sendiri dan menyalahkan diriku. Ini tetanggaku masih membutuhkan dan
anak-anak bahkan hampir mati sementara aku sejak kemarin terus mengumpulkan
harta untuk berhaji. Aku pun pulang mengambil harta itu, dan kembali ke rumah
perempuan itu dan menyedekahkan semua hartaku untuknya.”
Abdullah bin Mubarak pun berkata, “Berbahagialah engkau, Allah tidak hanya mencatatmu sebagai seorang haji saja, tapi karenamu Allah menerima ibadah haji semua orang di tahun ini.” Kisah ini disebut sumbernya dapat ditemukan dalam al-Bidayah wa an-Nihayah karya Ibn Katsir.
Allahu Akbar walillahilhamd
Ibadah haji itu mencerminkan kepulangan
secara mutlak kepada Allah yang tidak memiliki keterbatasan. Pulang kepada Tuhan adalah sebuah gerakan menuju kesempurnaan,
kebaikan, kemudahan kekuatan nilai dan fakta. Dengan melakukan perjalanan
keabadian ini manusia memang tidak akan pernah ‘sampai’ kepada-Nya. Tetapi ini
merupakan manivestasi dari perjalanan “menghampiri”-Nya.
Semoga kita
bisa istiqamah mempertahankan tradisi baik yang telah dibangun Nabiyullah
Ibarahim a.s.
بَارَكَ
اللهُ لِي وَلَكُمْ فِى الْقُرْآنِ اْلكَرِيْمِ وَنَفَعَنِى وَإِيَّاكُمْ بِمَا
فِيْهِ مِنَ اْلاَيَاتِ وَذِكْرِ اْلحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنِّى وَمِنْكُمْ
تِلاَوَتَهُ اِنَّهُ هُوَ اْلغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ, وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ
وَارْحَمْ وَاَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar