Senin, Juli 25, 2022

Merdeka belajar ala Madrasah yang Lahirkan Para Pembelajar

Saya memiliki pengalaman mengikuti pendidikan yang sangat menarik di sebuah sekolah jenjang SLTA khusus bidang agama yang berada di pinggiran kota Solo di tahun 90an. Nama sekolahnya adalah Madrasah Aliyah Negeri Program Khusus--disingkat MAN-PK atau lebih familiarnya MAPK. Kurikulumnya, 85% keagamaan yang disampaikan dengan dua bahasa; Arab dan Inggris sebagai pengantar. Proses belajarnya secara formal dari jam 07.00 sampai dengan 12.30 setiap harinya, 14.00 - 16.30 untuk tutorial muatan keagamaan dan waktu sisanya untuk belajar mandiri dan pengembangan potensi diri. Dari sekian mata pelajaran, hanya Bahasa Indonesia, matematika, Pendidikan Moral Pancasila, Bahasa Inggris dan sosiologi yang merupakan mata pelajaran "sekuler" yang diajarkan pada jam belajar formal.

Ketika ada jam kosong di pagi hari, para siswa secara bergiliran mengisi dengan diskusi ‘bedah buku’ atau penyampaian gagasan-gagasan sebagai hasil refleksi atas buku-buku yang dibacanya. Setiap habis liburan panjang, setiap siswa harus menceritakan pengalaman liburannya yang paling berkesan. Jika ia suka dengan puisi, maka dia akan berpuisi. Jika ia suka bercerita, maka ia akan sampaikan dengan cerita lucunya. Jika ia suka banyol, lebih heboh lagi tentunya. Yah, kami dilatih untuk berbicara, berpikir kritis, mengungkapkan pikiran, dan lain-lain.

Jam-jam transisi adalah jam-jam yang merupakan kesempatan setiap anak mengekspressikan potensinya. Yang ingin mengoptimalkan potensi otak kirinya, dia suka corat-coret menuangkan ekspressinya dalam goresan pena kaligrafinya atau ‘mojok’ di kamar bermain gitar dan bernyanyi-nyanyi yang tidak jelas arahnya. Kalo yang masih membawa ‘aroma’ santri pada jenjang pendidikan sebelumnya, ia akan pergi ke tempat yang agak sunyi dan berlatih membaca Al-Quran bi al-nagham (lagu). Yah sekedar mengoptimalkan kecerdasan musicalnya. Yang memiliki kecerdasan kinestetik, dia akan menuju ke ‘lapangan’ di tengah kuburan sekedar main bola. Yang memiliki kecerdasan intrapersonal, dia akan pergi ke kuburan untuk mencari inspirasi, lalu ia tuangkan dalam bentuk tulisan, puisi atau artikel, dan lain sebagainya. Semua kemampuan tersebut terekspressikan dalam wadah kegiatan yang bernama muhadlarah, yakni sebuah acara latihan berpidato dalam 3 bahasa. Di sela-sela itu ada sessi hiburan (tashliyah). Setiap siswa diberi kesempatan secara bergiliran. 

Dalam membongkar pola pikir keagamaannya, kami semua di’hidangkan’ menu pemikiran dalam 3 (tiga) corak sesuai profil para asatidz pembina; fundamental, liberal dan moderat (lebih cocoknya sepertinya konservatif). Maka, tidak ayal lagi jika selama kontak di dalamnya, pertarungan discourse keislaman menjadi sangat dinamis. Secara pemikiran, kita menjadi terbelah. Namun keterbelahan tersebut bukan menciptakan friksi antar kita. Bisa dikatakan, MAPK dapat disebut gambaran model pendidikan dengan spirit nilai-nilai moderasi.

Uniknya, selama 3 tahun menggeluti ilmu agama, tapi alumninya bisa mendaftar kuliahnya selain di PT yang linier. Seharusnya lulusan sekolah ini “ditakdirkan” hanya masuk di kampus agama, yakni IAIN (saat itu). Namun dalam kenyataannya, tidak sedikit lulusannya yang "menyebrang" dan menciptakan “takdir”nya sendiri. Mereka diterima kuliah di UGM, UI, UNDIP, ISI, ITB, UMS, STAN dan lain sebagainya. Lebih unik lagi, setelah lulus kuliah di PT, dunia kerjanya banyak yang tidak terkait sama sekali dengan disiplin ilmunya. Ada yang menjadi sastrawan, sutradara perfilman, novelis, pianis, konsultan keuangan, entrepreneur, hypnotherapy, motivator, pengacara, pengamat politik, politisi, polisi, tentara, aktivis NGO, wiraswasta, dan sebagiannya lagi berprofesi sebagai pendidik, dosen atau tokoh agama.  

Unik memang, tapi ini adalah kenyataan dari sebuah praktik pendidikan yang patut dikaji lebih dalam, mengapa bisa demikian.

Selama di tempat kerja, saya juga menemukan seorang anak muda yang kreatif. Saya telusuri latar belakang pendidikannya dan ternyata kemampuan kreatifitasnya tidak ada sangkut pautnya dengan disiplin ilmu yang dipelajari di bangku kuliahnya. Dia dikenal sebagai desainer grafis, pembuat film pendek, layout buku dan sejenisnya dengan imajinasi di atas rata-rata.     

Kini, setelah saya menjadi praktisi pendidikan dan memahami seluk beluk pendidikan, saya berani mengatakan barangkali itulah produk dari sebuah proses pendidikan yang dinamakan--meminjam istilah Mendikbud Nadiem Makarim--dengan "merdeka belajar". Merdeka belajar bukanlah barang baru dan sudah lama ditetapkan di beberapa lembaga pendidikan di Indonesia meski tanpa menyebutnya dengan istilah 'merdeka belajar'.

Ketika merdeka belajar dilaunching Kemendikbud beberapa bulan yang lalu, hemat saya, adalah salah satu bentuk reformasi bidang pendidikan yang paling berani. Gagasan ini diharapkan dapat membongkar mindset lama pendidikan nasional yakni menganggap pendidikan yang melulu menyiapkan peserta didiknya menjadi pekerja. Namun apa daya, ternyata penerjemahan konsep ‘merdeka belajar’ terjebak lagi dalam linking and matching dengan dunia kerja.

Merdeka belajar adalah konsep pendidikan yang sebenarnya merupakan bentuk kritik atas kemapanan model pendidikan yang terlalu "mengabdi" pada dunia industri. Kebijakan pendidikan terlalu diorientasikan untuk mempersiapkan tenaga trampil bekerja. Maka sedari masuk sekolah, peserta didik "terdoktrin" dengan 'belajar untuk bekerja'. Alhasil, setelah bekerja mereka menganggap "sudah tidak perlu belajar." Maka lahirlah para pekerja yang sepanjang hayat menjadi pekerja. Analisis saya, ‘Merdeka Belajar’ adalah penerjemahan dari teori-teori tentang ‘pendidikan yang membebaskan’ yang berparadigma praksis - kritis. Salah satu tokoh yang dikenal kritis terhadap model pendidikan modern adalah seorang pendidik dari Brazil yang bernama Paulo Freire dalam bukunya yang berjudul ‘Pedagogy of the Oppressed’ (Pendidikan Kaum Tertindas).

Nah, merdeka belajar harus didesain untuk lahirkan para pembelajar. Pembelajar adalah seseorang yang merasa tidak akan pernah berhenti belajar meski sudah bekerja. Belajar bukanlah sekedar "ritual" untuk mendapatkan gelar lalu bekerja. Pembelajar harus memahami bahwa hidup ini sesungguhnya adalah rangkaian kegiatan "belajar", belajar mengeja ilmu, belajar menyesuaikan dengan segala kondisi, belajar menghadapi persoalan dan tentu saja siap untuk memecahkannya. Hidup ini bagi pembelajar sejati adalah suatu lahan luas dimana bermacam-macam ilmu bisa dipelajari, dimaknai dan diamalkan. Barangkali itulah makna “thalab al-’ilmi min al-mahdi ila al-lahdi”.

Seorang pembelajar selalu siap dengan segala keadaan. Dia tidak terjebak dengan latar belakang dirinya baik latar belakang keilmuan maupun kehidupannya. Dia terbiasa melakukan terobosan dan berkreasi.

Memang, keadaan seperti itu seakan mengiyakan hasil dokumen UNESCO yang pernah dipublish 13 tahun lalu yang menyebutkan bahwa hanya 5% orang yang bekerja sesuai dengan latar belakang disiplin ilmunya.

Data UNESCO tersebut sebenarnya sekaligus menunjukkan bahwa jika dunia pendidikan selalu diproyeksikan harus selalu "link and match" dengan dunia kerja, adalah sebuah kealpaan. Sebab pendidikan seharusnya melahirkan para pembelajar yang siap menghadapi perubahan termasuk perubahan kebutuhan kerja, memiliki fleksibilitas dengan perubahan zaman dan juga perubahan dunia. Sebab perubahan itu berlangsung terus menerus dan berlangsung sangat cepat. Bisa dibayangkan jika kurikulum pendidikan harus selalu menyesuaikan dengan perubahan tersebut. Pendidikan harus mampu menjadikan pembelajar menemukan jati dirinya sebagai manusia (bukan mesin ya?). Dalam bahasa tasawuf disebut insan kamil (manusia sempurna). dengan statusnya sebagai insan kamil, ia siap untuk mengemban fungsi khilafah, yaitu khirasat al-din (menjaga agama) dan siyasat al-dunya (mengelola dunia).

Nah, selama ini pendidikan diarahkan untuk mengisi dunia kerja. Dengan kata lain, ilmu yang diajarkannya adalah ketrampilan, tidak menyinggung sama sekali aspek keilmuan yang sebenarnya. Pendidikan menjadi tempat penyiapan tenaga kerja perusahaan-perusahaan. Selesai menempuh pendidikan, mereka harus mencari kerja, bukan mencipta lapangan pekerjaan. Mereka enggan melanjutkan profesi orang tuanya sebagai petani meski lulusan dari sekolah pertanian. Tidak mampu berwiraswasta meski lulusan perekonomian. Jika pendidikan memiliki fungsi yang demikian, maka lembaga pendidikan memerankan sebagai lembaga yang “memperdayakan” bukan lembaga yang “memberdayakan”.

Ini adalah anomali pendidikan, yang sekaligus menunjukan bahwa ada yang salah dalam desain pendidikan nasional.

“Merdeka belajar” betul-betul dapat mengembalikan pendidikan pada "fitrah"nya dan juga dapat lahirkan para pembelajar. Pendidikan juga menjadi berkorelasi positif dengan kesejahteraan dan kualitas pendidikan. Di situlah, saya merasakan belajar di MAPK betul-betul ‘merdeka belajar’.


Anis Masykhur, Lulus dari MAPK Tahun 1995. Praktisi Pendidikan dan Peneliti & Dosen pada Alhikmah Islamic Studies Institut dan Dosen UIN Samarinda Kaltim. Email: anismanis@gmail.com 

1 komentar: